Jumat, 13 April 2012

Menjadi Guru yang Jujur


'Kenapa Bapak nggak 'jaim' kayak yang lain?", tanya seorang siswa."Karena saya tak ingin menjadi orang lain!", jawab saya. Dan siswa itu mencium tangan saya.
Meski tanpa bukti foto, tapi saya menjamin ilustrasi di atas benar-benar terjadi. Dan saat itu saya juga tidak mengerti maksudnya, sehingga perasaan saya juga biasa-biasa saja. Belakangan, setelah mendengar suara siswa tentang seorang rekan guru, baru saya mengerti maksudnya.

Alkisah, ada beberapa siswa yang ‘mengadu’ tentang sikap seorang rekan guru. Mereka bilang, rekan guru tersebut sok ‘jaim’ alias jaga imej. Konon, guru tersebut selalu marah atau minimalnya menjawab dengan ketus bila ada siswa yang bertanya karena ada yang belum jelas.

Saya memang tidak langsung mengiyakan penilaian mereka terhadap rekan guru tersebut. Hanya saja, hal itu semakin mengingatkan saya tentang bagaimana seorang guru harus bersikap terhadap siswa-siswanya. Dan angan saya langsung melayang kepada seorang dosen saya dulu, dosen Filsafat Pancasila.

Dosen saya itu, tampil sangat biasa. Gayanya tidak ‘sangat formal’. Beliau tidak pernah tampil dengan langkah kaku, berat, dan angkuh. Langkah kakinya begitu alami. Senyumnya senantiasa menghias bibirnya manakala bertemu mahasiswa. Dan, Beliau selalu menyapa mahasiswanya dengan sebutan Mas/Mbak. Dan itu membuat kami merasa begitu dekat dengan Beliau. Bahkan ketika dosen yang lain sibuk dengan mengontrol daftar absent, Beliau malah bilang,”Anda boleh memilih untuk masuk kuliah/tidak, sebab kewibawaan saya tidak ditentukan oleh kehadiran Anda”(sambil terkekeh). Toh begitu, kuliahnya selalu penuh dengan kehadiran kami. 

Sayang bila sampai melewatkan pertemuan dengan Beliau. Satu hal yang membuat itu terjadi adalah karena dalam setiap pertemuan selalu ada hal baru yang beliau sampaikan. Dan itu membuat kami seperti ketagihan.
Menjadi guru memang bukanlah pekerjaan mudah. Ibarat orang berjualan, sebenarnya barang dagangannya cukup strategis karena memang dibutuhkan. Hanya saja, kadang siswa belum menyadari bahwa mereka membutuhkan itu. Maka tidak aneh bila masih banyak siswa yang semau-maunya dalam mengikuti pelajaran.

Menghadapi situasi seperti itu, beberapa guru kadang menanggapinya dengan emosional. Mereka merasa diremehkan sehingga tidak jarang kemudian bersikap keras. Dari ‘ngambek’ mengajar, marah-marah, bahkan sampai mengancam untuk tidak menaikkan siswa. Tak jarang pula ada yang kemudian bersikap ketus seperti dalam yang diceritakan para siswa saya tersebut.

Tindakan demikian itu mungkin efektif meredam kelakuan siswa yang kurang menyenangkan itu, tetapi itu hanya bersifat sementara. Biasanya dalam waktu yang tidak terlalu lama, siswa akan kembali mengulangi sikap buruk mereka. Dan ini akan menjadi seperti lingkaran setan yang terus terjadi, terjadi, dan terjadi. Tentu saja ini hanya akan menjadi sesuatu yang kurang produktif dalam PBM kita.

Seperti telah saya ceritakan perihal dosen saya di atas, kiranya selalu membawakan hal baru dalam setiap pertemuan dengan siswa(PBM) adalah salah satu kunci untuk menumbuhkan minat siswa agar terlibat dalam PBM. Bukan hal mudah memang, namun bukan berarti pula tidak bisa kita lakukan. Selalu up-date wawasan adalah kuncinya. Sebagai guru kita hendaknya rajin mengakses segala informasi baru. Mengikuti sebuah forum baik nyata maupun virtual sangatlah penting. 

Dengan begitu, kita tak perlu memaksakan siswa mengiktui PBM kita tetapi siswa sendiri yang merasa butuh mengikuti PBM kita. Kita tidak perlu membungkus diri dengan ‘keangkeran’ yang kita buat-buat agar siswa mau terlibat dalam PBM. Kita cukup menjadi diri sendiri. Santai bukan?Selamat berkarya
Sumber : http://guraru.org/news/2012/01/22/136/menjadi_guru_yang_jujur.html