Jumat, 04 Mei 2012

Di Tahap Awal, Kanker Paru Sulit Dideteksi

Di Tahap Awal, Kanker Paru Sulit Dideteksi
Pertumbuhannya memang lambat, tetapi kanker paru menyerang tidak peduli apakah Anda lelaki atau perempuan, pejabat atau rakyat kecil. Kalau tidak berhenti merokok, Anda bakal menderita karenanya.

Seorang karyawan sebuah media cetak, sebut saja Toni mengeluh pada temannya,” Gila, gue jadi bingung hidup di Jakarta?”. Temannya yang sudah paham dengan gaya Toni menimpali,”Emangnya kenapa Ton,?”

“Bayangkan, di luar ruangan, asap, gak dari kendaraan, gak debu ada di mana-mana. Bikin napas sesek aja! Di dalam ruangan, ada AC, yang bikin gue kedinginan. Gitu aja masih ada yang ngrokok. Payah beribu payah, deh! Gue bingung. Enakan tinggal di desa, ya!!” seru Toni.
 
Keluhan Toni, memang beralasan. Asap bahan kimia beracun, entah dari kendaraan bermotor maupun dari rokok memang beredar di mana-mana, seolah tidak bisa terhindari oleh mereka yang terutama tinggal di wilayah kota padat seperti Jakarta, misalnya. Dan tentu saja asap-asap ini beresiko memicu tumbuhnya sel kanker dalam tubuh, utamanya kanker paru.
 
Penyebab Kematian Pertama
Tidak heran bila data dari badan kesehatan dunia WHO (World Health Organization) tahun 2004 menyebutkan bahwa setiap tahun diperkirakan lebih dari 1,3 juta kasus kanker paru dan bronki terjadi di seluruh dunia. Dan sekitar 1,1 juta kematian terjadi setiap tahunnya.

Di Eropa, diperkirakan kasus kanker menimpa 381.500 orang dengan angka kematian bekisar pada angka 342.000. Atau dengan angka kematian per harinya sejumlah 936. Penelitian WHO ini mengisyaratkan bahwa kanker paru merupakan penyebab kematian terbesar di dunia dan bertanggung jawab atas 18,7 persen kematian akibat kanker.

Data ini semakin diperkuat dengan kenyataan yang ditemui Dr. Elisna Syahruddin, PhD, Sp.P di RS Persabahatan, Jakarta Timur. Di tempatnya bekerja ini, Dr. Elisna menemui setidaknya dalam sehari ada kasus kanker lebih dari satu.  Di tahun 2004, dilaporkan sekitar 448 terjadi kasus keganasan rongga toraks.

Sampai saat ini, menurut Elisna, penyebab kanker paru belum diketahui, terutama yang terkait dengan mengapa sebuah sel terlalu aktif atau unsur apoptosis (sel bunuh dirinya) lemah.
“Namun resiko kanker paru meningkat pada mereka yang berkaitan erat dengan rokok, entah perokok aktif, perokok pasif atau mereka yang terpajan dengan bahan-bahan karsinogen seperti asbes dan polusi udara,” jelas Elisna. Dan yang perlu diingat, setidaknya 80 persen, insiden kanker paru terkait dengan persoalan merokok.

Elisna menambahkan, banyak orang tidak tahu bahwa efek negatif rokok tidak hanya dari nikotin. Mulai dari asap yang bisa membuat iritasi paru sampai 45 bahan yang bersifat karsinogen (pemicu racun).

Sayang, data dan informasi seperti ini seolah tidak terlalu berarti bagi kebanyakan dari kita.
Buktinya masih banyak orang yang begitu cinta pada batang beracun ini. Perkiraan Depkes pada tahun 2001 cukup mencengangkan.
Sekitar 70 persen (200 juta) dari penduduk Indonesia adalah perokok aktif. Dari 70 persen itu, 60 persennya (kira-kira 84 juta orang) adalah masyarakat ekonomi bawah.

Bahkan menurut WHO, diperkirakan sekitar 59 persen pria berusia di atas 10 tahun di Indonesia telah menjadi perokok harian. Sementara konsumsi rokok Indonesia setiap tahun mencapai 199 miliar batang rokok.
Indonesia menduduki urutan ke-4 setelah RRC (1.679 miliar batang), Amerika Serikat (480 miliar), Jepang (230 miliar), dan Rusia (230 miliar).

Payahnya, kebiasaan ini tidak hanya milik orang dewasa. Remaja muda usia pun banyak yang gemar mengisapnya.
Data Global Tobacco Youth Survey (GTYS) yang dilakukan di beberapa tempat seperti Jakarta, Bekasi, dan Medan menunjukkan kenyataan yang cukup memprihatinkan.
Di Jakarta, 34 % murid sekolah usia SMP pernah merokok dan 16,6 % saat ini masih merokok. Di Bekasi, 33 % murid sekolah usia SMP pernah merokok dan 17,1 % saat ini masih merokok. Sementara di Medan, 34,9 % murid sekolah usia SMP pernah merokok dan 20,9 % saat ini masih merokok.

Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan RI Dr Tjandra Yoga Aditama SpP(K), TM&H, MARS yang pernah menjadi ketua peneliti program GTYS, angka-angka ini termasuk tinggi bila dibanding dengan data di Bhutan (20% ), India atau Bangladesh yang angkanya berada di bawah 10%.

Memang sih, timbulnya kanker paru tidak secepat datangnya flu atau batuk. ”Ini karena sistem pertahanan paru sangat baik. Bila satu lobus rusak, orang sering tidak belum merasakan gejalanya,” jelas Elisna. Butuh waktu lama sel tidak normal ini tumbuh tak terkendali dalam paru dan akhirnya menyebar di organ luar paru. Namun, justru itu. Semakin muda racun penyebab kanker diisap, semakin muda pula usia kita terkena kanker.

Setidaknya penyakit seperti ini akan dirasakan bila orang sudah bertahun-tahun merokok dan akan mulai terasa di usia lebih dari 35 atau 40 tahun.

Sulitnya lagi, pada tahap awal, kanker paru agak sulit dideteksi karena tanpa gejala yang berarti. Kanker paru baru bisa ketahuan bila keadaan sudah begitu berat. “Kebanyakan penderita baru datang ke dokter setelah alami batuk darah,” ujar Elisna
Beberapa gejala umum yang biasa ditemui pada penderita kanker paru selain batuk darah antara lain sesak napas, radang paru atau bronchitis berulang, kelelahan, hilangnya selera makan atau turunnya berat badan, suara serak, dan pembengkakan di wajah atau leher.

Memang dibanding dengan gejala lain, hanya 25 persen batuk darah muncul pada penderita kanker paru. Lainnya, seperti kelelahan cukup sering terjadi, antara 79 sampai 84 persen terjadi pada penderita kanker paru.

Sumber : http://www.sehatnews.com/2012/05/02/di-tahap-awal-kanker-paru-sulit-dideteksi/