Disyariatkan adzan dan iqamah ini berdasarkan nash syariat, di
antaranya kisah Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khaththab, sebagaimana
tersebut dalam hadits Abdullah bin Zaid yang telah kami jelaskan di
depan, dan merupakan ijma’ untuk shalat lima waktu.
Imam An Nawawi mengatakan: “Adzan
dan iqamah disyariatkan berdasarkan nash-nash syariat dan Ijma’. Dan
tidak disyariatkan (adzan dan iqamah ini) pada selain shalat lima waktu,
tidak ada perselisihan (dalam masalah ini)”.[1]
Awal disyariatkannya terjadi pada tahun pertama hijriyah. Tersebut di dalam hadits Ibnu Umar yang berbunyi:
كَانَ
الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ
فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلاةَ لَيْسَ يُنَادَى لَهَا فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا
فِي ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ
النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ بُوقًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ
فَقَالَ عُمَرُ أَوَلاَ تَبْعَثُونَ رَجُلاً يُنَادِي بِالصَّلاَةِ فَقَالَ
رَسُولُ الهَِn يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ
Kaum
muslimin, dahulu ketika datang ke Madinah berkumpul, lalu memperkirakan
waktu shalat, tanpa ada yang menyerunya. (Hingga) pada suatu hari,
mereka berbincang-bincang tentang hal itu. Sebagian mereka berkata
“gunakan saja lonceng seperti lonceng Nashara”. Dan sebagian menyatakan
“gunakan saja terompet seperti terompet Yahudi”. Maka Umar berkata:
“Tidakkah kalian mengangkat seseorang untuk menyeru shalat?” Lalu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Wahai, Bilal. Bangun
dan serulah untuk shalat.” [2]
Imam
Asy Syaukani menyatakan, inilah yang paling shahih dari hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam penentuan awal waktu disyariatkan
adzan [3]. Hal ini juga yang dirajihkan Imam Ibnu Hajar.[4]
Adapun
hukumnya, para ulama berselisih dalam beberapa pendapat. Yang mendekati
kebenaran dari pendapat-pendapat tersebut, ialah pendapat yang
mewajibkannya, berdasarkan hadits Malik bin Al Huwairits :
أَتَيْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى الهُn عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِي
فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَحِيمًا رَفِيقًا
فَلَمَّا رَأَى شَوْقَنَا إِلَى أَهَالِينَا قَالَ ارْجِعُوا فَكُونُوا
فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَصَلُّوا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلاَةُ
فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ رواه
البخاري
Aku
mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama beberapa orang
dari kaumku, kemudian kami tinggal di sisinya selama 20 hari. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam seorang yang dermawan dan sangat lemah
lembut. Ketika Beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga, maka
Beliau berkata : “Pulanglah kalian dan tinggallah bersama mereka, dan
ajarilah mereka (agama Islam) serta shalatlah kalian. Apabila datang
waktu shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian beradzan. Dan
orang yang paling dituakan mengimami shalat kalian”.[5]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :
مَا
مِنْ ثَلاَثَةٍ فِي قَرْيَةٍ لاَ يُؤَذَّنُ وَلاَ تُقَامُ فِيهِمْ
الصَّلاَةُ إِلاَّ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ رواه أحمد
Tidak
ada tiga orang di satu desa yang tidak ada adzan dan tidak ditegakkan
pada mereka shalat, kecuali setan akan memangsa mereka.[6]
Demikian pendapat yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibnu Al Utsaimin[7] dan Syaikh Al Albani.
Syaikh Al Albani mengatakan : “Sungguh,
pendapat yang menyatakan adzan hanyalah Sunnah jelas merupakan
kesalahan. Bagaimana bisa, padahal ia termasuk syi’ar Islam terbesar,
yang jika Nabi n tidak mendengarnya di negeri suatu kaum yang akan
Beliau perangi, maka Beliau akan memerangi mereka. Jika mendengar adzan
pada mereka, Beliau menahan diri, sebagaimana telah diriwayatkan dalam
Shahihain dan selainnya. Dan perintah adzan sudah ada dalam hadits
shahih lainnya. Padahal hukum wajib dapat ditetapkan dengan dalil yang
lebih rendah dari ini. Maka yang benar, adzan adalah fardhu kifayah,
sebagaimana dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa
(1/67-68 dan 4/20). Bahkan juga bagi seseorang yang shalat sendirian”. [8]
Bahkan Syaikhul Islam menegaskan hukum ini dengan pernyataannya : “Yang benar, adzan itu fardhu kifayah”.[9]
Ibnu Hazm mengomentari permasalahan ini dengan pernyataannya : "Kami
tidak mengetahui orang yang menyatakan tidak wajibnya adzan dan iqamah
(ini) memiliki hujjah. Seandainya Rasulullah tidak menghalalkan darah
dan harta suatu kaum yang Beliau tengarai dengan tidak adanya adzan pada
mereka, tentulah cukup untuk mewajibkannya”.[10]
HUKUM-HUKUM SEPUTAR ADZAN
Ada beberapa permasalahan seputar adzan yang cukup penting diketahui, di antaranya:
1. Disunnahkan beradzan dalam keadaan berdiri.
Ibnu Al Mundzir berkata: “Para ulama yang saya hafal, (mereka) sepakat,
bahwa sunnah beradzan dengan berdiri” [11]. Hal ini sesuai dengan
perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Bilal dalam
hadits Abu Qatadah:
إِنَّ الهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلاَلُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاَةِ
Sesungguhnya
Allah mencabut ruh-ruh kalian kapan (Dia) suka, dan mengembalikannya
kapan (Dia) suka. Wahai, Bilal! Bangun dan beradzanlah untuk shalat. [HR Al Bukhari].
Juga disunnahkan menghadap kiblat [12]. Syaikh Al Albani menyatakan: “Telah
shahih dalil menghadap kiblat dalam adzan dari malaikat, sebagaimana
yang dilihat Abdullah bin Zaid Al Anshari dalam mimpinya”. [13]
2. Disunnahkan beradzan di tempat yang tinggi, agar lebih keras terdengar dalam menyampaikan adzan [14]. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits seorang wanita dari Bani Najjar yang menyatakan:
كَانَ بَيْتِي مِنْ أَطْوَلِ بَيْتٍ حَوْلَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ بِلاَلٌ يُؤَذِّنُ عَلَيْهِ الْفَجْرَ
Rumahku, dahuku termasuk rumah yang tertinggi di sekitar masjid (nabawi), dan Bilal, dulu beradzan fajar di atas rumah tersebut. [HR Abu Dawud dan dihasankan Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil, hadits no. 229, hlm. 1/246].
3. Muadzin disunnahkan memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri pada hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain)
Berdasarkan hadits Abu Juhaifah yang berbunyi:
أَنَّهُ رَأَى بِلَالاً يُؤَذِّنُ فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَهُنَا وَهَهُنَا بِاْلأَذَانِ
Sesungguhnya Beliau melihat Bilal beradzan, lalu aku melihat mulutnya disana dan disini mengucapkan adzan. [HR Al Bukhari].
Dan dalam riwayat Muslim dengan lafadz:
فَجَعَلْتُ
أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا يَقُولُ يَمِينًا وَشِمَالاً
يَقُولُ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
Lalu
mulailah aku memperhatikan mulutnya diputar kesana dan kesini, yaitu ke
kanan dan ke kiri mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, hayya ‘ala al
falah.
Imam
An Nawawi menjelaskan, disunnahkan memalingkan wajah dalam hai’alatain
ke kanan dan ke kiri. Dalam tata cara memalingkan wajah, yang mustahab
ada tiga cara, yaitu :
Pertama.
Ini yang paling benar dan telah ditetapkan ahli Iraq dan sejumlah ahli
Khurasan (dalam madzhab Syafi’i), bahwa memalingkan ke kanan dengan
mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, hayya ‘ala ash shalat, kemudian
berpaling ke kiri dan mengucapkan hayya ‘ala al falah, hayya ‘ala al
falah.
Kedua. Berpaling
ke kanan dan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, kemudian kembali
menghadap kiblat, kemudian berpaling ke kanan lagi dan mengucapkan hayya
‘ala ash shalat. Kemudian berpaling ke kiri dan mengucapkan hayya ‘ala
al falah, lalu kembali menghadap kiblat, kemudian berpaling ke kiri lagi
dan mengucapkan hayya ‘ala al falah.
Ketiga. Pendapat
Al Qafal, yaitu mengucapkan hayya ‘ala ash shalat satu kali berpaling
kekanan, dan satu kali berpaling ke kiri; kemudian mengucapkan hayya
‘ala al falah satu kali berpaling ke kanan dan satu kali berpaling ke
kiri.[15]
4. Disunahkan meletakkan kedua jemari di telinga, sebagaimana hadits Abu Juhaifah dengan lafadz:
رَأَيْتُ
بِلاَلاً يُؤَذِّنُُ وَيُتْبِعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا
وَإِصْبَعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ وَرَسُولُ الهَِ صَلَّى الهَُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي قُبَّةٍ لَهُ حَمْرَاءَ أُرَاهُ
Aku melihat Bilal beradzan dan memutar mulutnya ke sana dan ke sini serta kedua jarinya di telinganya.
[HR Ahmad dan At Tirmidzi, dan At Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits ini
hasan shahih. Syaikh Al Albani menshahihkannya di dalam Irwa’ Al
Ghalil, no. 230, hlm. 1/248].
Setelah
menyampaikan hadits ini, Imam At Tirmidzi berkata: “Inilah yang
diamalkan para ulama. Mereka mensunnahkan seorang muadzin memasukkan
kedua jemarinya ke kedua telinganya dalam adzan. Dan sebagian ulama
menyatakan juga, di dalam iqamat memasukkan kedua jemarinya ke kedua
telinganya. Demikian ini pendapat Al ‘Auza’i”.[16]
5. Disunnahkan MENGERASKAN SUARA dalam adzan [17]
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
فَإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Tidaklah
mendengar suara muadzin bagi jin dan manusia serta (segala) sesuatu,
kecuali memberikan kesaksian untuknya pada hari Kiamat. [HR Al Bukhari].
HUKUM MENDENGAR DAN MENJAWAB ADZAN DAN IQAMAT
Para ulama terbagi dalam dua pendapat berbeda berkaitan dengan hukum mendengar dan menjawab adzan.
1. Hukumnya wajib.
Demikian ini pendapat madzhab Azh Zhahiriyah dan Ibnu Wahb. Dalil yang
dibawakan ialah hadits Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi :
أَنَّ رَسُولَ الهِl صَلَّى الهُy عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ
Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika kalian
mendengar adzan, maka jawablah seperti yang disampaikan muadzin”. (Muttafaqun ‘alaihi) [18].
Dalam hadits ini terdapat perintah menjawab adzan, dan perintah, pada asalnya menunjukkan wajib.
2. Hukumnya sunnah.
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama [19]. Mereka menyatakan, bahwa
hadits Abu Sa’id di atas dipalingkan dari wajib menjadi sunnah dengan
hadits ‘Aisyah yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ الهِa صَلَّى الهُn عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ يَتَشَهَّدُ قَالَ وَأَنَا وَأَنَا
Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika mendengar muadzin
membaca syahadat, maka Beliau berkata “dan aku dan aku”. [HR Abu Dawud].
Dalam
hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menjawab adzan
secara sempurna. Mereka juga berdalil dengan hadits Anas bin Malik :
كَانَ
رَسُولُ الهِ صَلَّى الهُa عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغِيرُ إِذَا طَلَعَ
الْفَجْرُ وَكَانَ يَسْتَمِعُ اْلأَذَانَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ
وَإِلاَّ أَغَارَ فَسَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ الهُع أَكْبَرُ الهَُ أَكْبَرُ
فَقَالَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهُق عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْفِطْرَةِ
ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ الهُل فَقَالَ رَسُولُ الهِ صَلَّى الهُّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
خَرَجْتَ مِنْ النَّارِ
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerang (suatu kaum) ketika terbit
fajar. Dan Beliau memperhatikan adzan. Apabila Beliau mendengar, maka
Beliau menahan. Dan bila tidak (mendengar), maka Beliau menyerang. Lalu
Rasulullah mendengar seseorang berkata: (الهُ أَكْبَرُ الهُُ أَكْبَرُ ),
maka Beliau menjawab: “Di atas fithrah” (عَلَى الْفِطْرَةِ ), kemudian
ia (seseorang itu) mengatakan:
(أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الهُا أَشْهَدُ )
dan Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Engkau telah
keluar dari neraka”. [HR Muslim].
Dalam
menjelaskan hadits ini, Ibnu Hajar menyatakan, ada sebagian riwayat
berkaitan dengan hadits ini yang menunjukkakan, bahwa hal ini terjadi
ketika waktu akan shalat [20]. Hal ini juga didukung oleh amalan kaum
mualimin pada zaman Umar, sebagaimana disampaikan Tsa’labah bin Abi
Malik :
كَانُوْا
يَتَحَدَّثُوْنَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَ عُمَرُ جَالِسٌ عَلَى الْمِنْبَرِ
فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ قَامَ عُمَرُ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ
Mereka
dahulu berbincang-bincang pada hari Jum’at dan Umar duduk di atas
mimbar. Jika muadzin selesai adzan, maka Umar bangun dan tak seorangpun
berbicara. [HR Asy Syafi’i dalam Al Um, dan dishahihkan An Nawawi, sebagaimana dijelaskan Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 339].
Riwayat ini juga dikuatkan dengan riwayat yang dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih, sebagai berikut:
أَدْرَكْتُ
عُمَرَ وَ عُثْمَانَ فَكَانَ الإِمَامُ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ
تَرَكْنَا الصَّلاَةَ فَإِذَا تَكَلَّمنَا تَرَكْنَا الْكَلاَمَ
Aku
menjumpai Umar dan Utsman; jika seorang imam keluar (menuju masjid),
maka kami meninggalkan shalat, dan bila berbicara (berkhutbah), maka
kami meninggalkan perbincangan. [HR Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan Al Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 340].
Pendapat ini yang dirajihkan Syaikh Al Albani [21] dan Syaikh Masyhur Salman.
Syaikh Al Albani mengatakan: Dalam
atsar ini, terdapat dalil yang menunjukkan tidak wajibnya menjawab
(seruan) muadzin, karena pada zaman Umar terjadi amalan
berbincang-bincang ketika adzan, dan Umar diam. Saya banyak ditanya
tentang dalil yang memalingkan perintah yang menunjukkan kewajiban
menjawab adzan. Maka saya menjawab dengan atsar ini. Demikian juga
iqamat, dalam hal ini sama hukumnya dengan adzan, sebagaimana dinyatakan
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta, dalam pernyataan mereka
yang berbunyi “termasuk sunnah seorang yang mendengar iqamat menjawab
seperti ucapan muqim (orang yang beriqamah); karena iqamat merupakan
adzan kedua, sehingga dijawab seperti dijawabnya adzan [22]. Wallahu a’lam.
MENJAWAB ADZAN DALAM KEADAAN SHALAT
Berdasarkan hukum di atas, maka muncullah permasalahan lainnya, yaitu
bagaimana hukum seseorang yang sedang shalat mendengar adzan, apakah
perlu menjawab ataukah tidak? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat
ulama:
1. Wajib menjawab adzan walaupun dalam shalat, kecuali ucapan hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain). Demikian pendapat madzhab Azh Zhahiriyah dan Ibnu Hazm.
Ibnu Hazm berkata: “Barangsiapa
mendengar muadzin, maka jawablah sebagaimana yang diucapkan muadzin
sama persis dari awal adzan sampai akhirnya. Baik ia berada di luar
shalat atau di dalam shalat. Baik shalat wajib ataupun sunnah. Kecuali
hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain), maka tidak
diucapkan dalam shalat, dan diucapkan di luar shalat”.
Dalilnya ialah hadits Abdullah bin Amru dan Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ الهِi صَلَّى الهُu عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ
Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika kalian
mendengar adzan, maka jawablah seperti yang disampaikan muadzin. [Muttafaqun ‘alaihi].
Nabi
Shallallahu 'alaihi wa salalm tidak mengkhusukan hal itu dalam shalat
atau di luar. Sedangkan hai’latain merupakan ucapan manusia yang
mengajak kepada shalat. Adzan seluruhnya adalah dzikir, dan shalat
adalah tempat berdzikir”.[23]
2. Tidak menjawab adzan bila dalam keadaan shalat.
Demikian ini pendapat mayoritas ulama (jumhur), dengan berdalil hadits Abdullah bin Mas’ud yang berbunyi:
كُنَّا
نُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى الهُ) عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي
الصَّلاَةِ فَيَرُدُّ عَلَيْنَا فَلَمَّا رَجَعْنَا مِنْ عِنْدِ
النَّجَاشِيِّ سَلَّمْنَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ
فِي الصَّلاَةِ شُغْلاً
Kami,
dahulu memberikan salam kepada Nabi n dalam keadan Beliau shalat dan
Beliau membalasnya. Ketika kami kembali dari negeri Najasi, kami memberi
salam kepada Beliau dan (Beliau) tidak menjawab salam kami dan berkata:
“Sesungguhnya dalam shalat adalah satu kesibukan”. [Muttafaqun ‘alaihi].
Hadits
ini, menurut jumhur menunjukkan makruhnya menjawab salam yang hukumnya
wajib, lalu bagaimana dengan adzan yang hukum menjawabnya saja sunnah?
Terlebih lagi dalam shalat, seseorang sedang sibuk bermunajah kepada
Allah, sehingga menjawab adzan dapat merusak kekhususan tersebut.
3. Menjawab adzan pada shalat sunnah dan tidak menjawab dalam shalat fardhu.
Demikian salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah.
Adapun
menurut penulis, dalam hal ini cenderung menguatkan pendapat jumhur,
berdasarkan sunnahnya menjawab adzan yang telah dikemukan di atas.
Wallahu a’lam.
DISYARIATKAN MEMBACA SHALAWAT DAN DOA SETELAH ADZAN
Sebagaimana telah diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amru yang berbunyi:
عَنْ
عَبْدِ الهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى
الهُd عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ
فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى
عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى الهُي عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا الهَو
لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِي
إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ الهِر وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ
فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
Dari Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash, ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jika
kalian mendengar muadzin, maka jawablah seperti apa yang ia katakan,
kemudian bershalawatlah untukku, karena barangsiapa yang bershalawat
untukku, maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian
mintakanlah kepada Allah untukku al wasilah, karena ia adalah satu
kedudukan di surga yang tidak sepatutnya, kecuali untuk seorang hamba
Allah; dan aku berharap, (bahwa) akulah ia. Barangsiapa yang memohonkan
untukku al wasilah, maka akan mendapat syafaatku. [HR Muslim].
Permohonan wasilah ini dicontohkan dalam hadits Jabir yang berbunyi:
أَنَّ
رَسُولَ الهِs صَلَّى الهُc عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ حِينَ
يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ
وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ
وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ
شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang ketika (selesai) mendengar adzan berkata:
اللَّهُمَّ
رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ
مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا
الَّذِي وَعَدْتَهُ
Maka mendapatkan syafaatku pada hari kiamat. [HR Al Bukhari].
Demikianlah sebagian hukum-hukum seputar adzan dan iqamat, yang penulis sampaikan secara ringkas. Mudah-mudahan bermanfaat.
Oleh Ustadz Kholid Syamhudi
|