Syariat
berkurban merupakan warisan ibadah yang paling tua. Karena berkurban
mulai diperintahkan saat Nabiyullah Adam ‘alaihis salam tidak menemukan
cara yang tepat dalam menikahkan anak-anaknya yang kembar. Meskipun
sudah diputuskan menikah secara silang. Sampai akhirnya Allah swt.
mewahyukan agar kedua anak Adam, Habil dan Qabil melaksanakan kurban
untuk membuktikan siapa yang diterima. Habil berkurban dengan ternaknya
–unta- dan Qabil berkurban dengan tanamannya –gandum-.
Sampai
disini Allah swt sebenarnya ingin menguji hamba-hamba-Nya, mana yang
dengan suka-rela menerima perintahnya, dan mana yang menentangnya. Habil
dengan ikhlas mempersembahkan kurbannya dan karenanya diterima.
Sedangkan Qabil karena tidak tulus dalam menjalankan perintah berkurban,
tidak diterima, sehingga dengan nekad juga ia membunuh saudaranya,
inilah peristiwa pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia.
Peristiwa ini Allah swt. rekam dalam surat Al-Maidah ayat 27-31.
Syariat berkurban dilanjutkan dengan Nabi-Nabi berikutnya.
وَلِكُلِّ
أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا
رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ (34)
“Dan bagi
tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya
mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah
direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa,
Karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” QS. Al-Hajj : 34
Peristiwa berkurban paling fenomenal dibuktikan oleh Bapak Tauhid, Khalilullah,
Ibrahim Alaihissalam. Ibrahim yang menanti seorang putra sejak lama itu
diperintahkan Allah swt untuk menyembelih putra semata wayangnya,
Isma’il alaihissalam. Ujian berat menyergapnya, antara melaksanakan
perintah Allah swt atau membiarkan hidup putranya dengan tidak
melaksanakan perintah Allah swt, toh putranya nanti akan melanjutkan
perjuangan bapaknya. Alasan ini kelihatan begitu rasional. Bisa menjadi
pembelaan diri dan pembenaran pilihan.
Namun, Ibrahim sudah teruji
ketaatannya kepada Allah swt. sehingga tiada ragu ia akan melaksanakan
perintah Allah swt. Perintah itu dikomunikasikan dengan putranya
Isma’il. Betapa bangganya sang ayah yang mendengar ketegasan putranya,
“Wahai Ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Engkau
akan menemukan diriku termasuk orang yang penyabar.”
Rangkaian kisah hebat itu Allah swt rekam dalam Al-Qur’an,
“Ya
Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk
orang-orang yang saleh. Maka kami beri dia khabar gembira dengan seorang
anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup)
berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya
Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya Telah berserah diri dan
Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran
keduanya ). Dan kami panggillah dia: “Hai Ibrahim. Sesungguhnya kamu
Telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya Demikianlah kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya Ini
benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan
seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian
yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian. (yaitu)
“Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” A(s-Shaffat:100-110)
Nikmat Allah
Syariat
itu kembali diaktualisasikan oleh nabi akhir zaman, Nabiyullah Muhammad
saw dan kita sebagai umatnya. Perintah itu digambarkan dalam surat
pendek, surat Al-Kautsar: 1-3
“Sesungguhnya kami telah
memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena
Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu
dialah yang terputus.”
Sebelum Allah swt memerintahkan
berkurban, terlebih dulu Allah swt mengingatkan betapa nikmat pemberian
Allah swt begitu banyak “Al Kaustar”, atau juga berarti telaga kautsar
di surga.
Kalau kita mencoba merenung, nikmat Allah swt yang besar
adalah nikmat diciptakanya kita sebagai manusia. Makhluk Allah swt yang
paling mulya dan paling baik bentuknya, “ Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (At-Tiin:4)
Nikmat menjadi peran khalifatullah fil ardli, perwakilan Allah swt untuk memakmurkan bumi dan isinya. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Al-Baqarah:30)
Nikmat
anggota badan yang begitu menakjubkan dan luar biasa. Betapa sangat
mahalnya kesehatan itu ketika satu mata dihargai ratusan juta. Makanya
Allah swt kembali mengingatkan “Dan pada diri kalian, apakah kalian tidak memperhatikan?” (Adz-Dzariyat:21)
Dan yang paling besar anugerah Allah swt adalah nikmat Iman dan Islam. Ini digambarkan Allah sendiri,
”Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Ma’idah:3)
Hakekat Berkurban
Setelah
Allah swt menyebut nikmat-nikmat yang begitu banyak itu, Allah swt
mengingatkan hamba-hamba-Nya agar mau melaksanakan
perintah-perintah-Nya: perintah shalat lima waktu atau shalat Idul Adha
dan berkurban sebagai bukti rasa syukur kepada-Nya.
Bahkan
Rasulullah saw memerintahkan berkurban dengan bahasa yang tegas dan
lugas bahkan disertai ancaman. Ancaman untuk tidak dekat-dekat dengan
tempat shalat atau dengan istilah lain tidak diakui menjadi umat
Muhammad.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ
مُصَلَّانَا
“Dari Abu Hurairah ra., nabi Muhammad saw
bersabda, “Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak
berkurban, maka janganlah ia menghampiri (mendekati) tempat shalat kami”. (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
Berkurban
tidak sekedar mengalirkan darah binatang ternak, tidak hanya memotong
hewan kurban, namun lebih dari itu, berkurban berarti ketundukan total
terhadap perintah-perintah Allah swt dan sikap menghindar dari hal-hal
yang dilarang-Nya.
Allah swt ingin menguji hamba-hamba-Nya dengan
suatu perintah, apakah ia dengan berbaik sangka kepada-Nya dan karenanya
melaksanakan dengan baik tanpa ragug-ragu? Laksana Nabiyullah Ibrahim.
Berkurban
adalah berarti wujud ketaatan dan peribadatan seseorang, dan karenanya
seluruh sisi kehidupan seseorang bisa menjadi manifestasi sikap
berkurban.
Atau seperti Qabil yang menuruti logika otaknya dan
kemauan syahwatnya, sehingga dengan perintah berkurban itu, ia malah
melanggar perintah Allah swt dengan membunuh saudara kembarnya sendiri?
Ia berusaha mensiasati perintah Allah swt dengan kemauannya sendiri yang
menurutnya baik. Namun di situlah letak permasalahannya: ia tidak
percaya perintah Allah swt.?
Berkurban juga berarti upaya
menyembelih hawa nafsu dan memotong kemauan syahwat yang selalu menyuruh
kepada kemunkaran dan kejahatan.
Seandainya sikap ini dimiliki
oleh umat Islam, subhanallah, umat Islam akan maju dalam segalanya.
Betapa tidak, bagi yang berprofesi sebagai guru, ia berkurban dengan
ilmunya. Pengusaha ia berkurban dengan bisnisnya yang fair dan halal.
Advokat dan Penegak Hukum berkurban untuk kebenaran dan keadilan.
Politisi ia berkurban demi kemaslahatan umum dan bukan kelompoknya.
Pemimpin ia berkurban untuk kemajuan rakyat dan bangsanya dan begitu
seterusnya.
Kita berani menyembelih kemauan pribadi yang
bertentangan dengan kemauan kelompok, atau keinginan pribadi yang
bertentangan dengan syariat. Bahkan kemauan kelompok namun bertentangan
dengan perintah Allah swt.
Dengan semangat ini, bentuk-bentuk kejahatan akan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan di bumi pertiwi ini. Biidznillah.
Karena itu Allah swt menegaskan dalam firman-Nya,
”Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan)
Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah
Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah
terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada
orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Hajj:37)
Dan
berkurbanlah. Kurban menjadi kebiasaan yang melegakan, bukan menjadi
beban dan keterpaksaan. Karena memang kurban tidak sekedar memotong
hewan, tapi lebih dari itu, ketundukan total terhadap perintah-perintah
Allah swt. Allahu A’lam.