Kajian spesial bulan suci Ramadhan kedua kedua membahas niat berpuasa.
Hadits 656
وَعَنْ حَفْصَةَ أُمِّ اَلْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهَا, عَنِ اَلنَّبِيِّ قَالَ: مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ
اَلصِّيَامَ قَبْلَ اَلْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
(رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَمَالَ النَّسَائِيُّ
وَاَلتِّرْمِذِيُّ إِلَى تَرْجِيحِ وَقْفِهِ, وَصَحَّحَهُ مَرْفُوعًا
اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ. وَلِلدَّارَقُطْنِيِّ: لاَ صِيَامَ
لِمَنْ لَمْ يَفْرِضْهُ مِنَ اَللَّيْلِ)
Dari Hafshah; Ummul Mukminin radhiallahu anha, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
“Siapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.”
(Diriwayatkan oleh perawi yang lima (Ahmad, Abu Daud,
Tirmizi, Nasai dan Ibnu Majah). An-Nasai dan Tirmizi lebih condong
menguatkan bahwa hadits ini mauquf. Sedangkan Ibnu Hibban dan Ibnu
Khuzaimah setuju bahwa hadits ini marfu. Sedangkan redaksi dalam riwayat
Ad-Daruquthni berbunyi, “Tidak ada puasa bagi yang tidak memantapkan
niat di malam hari.”)
Catatan:
- Hadits mauquf adalah hadits yang riwayatnya hanya
sampai kepada shahabat, dalam riwayat di atas hanya sampai kepada
Hafshah.
- Hadits marfu’ adalah hadits yang riwayatkan
bersambung terus hingga sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam.
- Hadits ini dinyatakan shahih oleh beberapa pakar
hadits, di antaranya oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami Ash-Shagir, no.
11480
Hadits 657
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:
دَخَلَ عَلَيَّ اَلنَّبِيُّ ذَاتَ يَوْمٍ، فَقَالَ: “هَلْ عِنْدَكُمْ
شَيْءٌ? ” قُلْنَا: لاَ. قَالَ: فَإِنِّي إِذًا صَائِمٌ ، ثُمَّ أَتَانَا
يَوْمًا آخَرَ, فَقُلْنَا: أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ, فَقَالَ: أَرِينِيهِ,
فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا فَأَكَلَ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Dari Aisyah radhiallahu anha, dia berkata,
“Nabi suatu saat mendatangi aku, lalu dia bertanya,
‘Apakah padamu ada sesuatu (makanan)?’ Kami katakan, ‘Tidak.’ Beliau
berkata, ‘Kalau begitu aku berpuasa.’ Kemudian pada hari yang lain dia
mendatangi kami lagi, maka kami katakan kepadanya, ‘Ada yang memberi
kita hais (sejenis makanan).’ Maka beliau berkata, ‘Perlihatkan
kepadaku, hari ini aku (sebenarnya) berpuasa.’ Lalu beliau memakannya.” (HR. Muslim)
Pemahaman dan Kesimpulan Hukum
- Para ulama berbeda pendapat tentang niat puasa.
Sebagian memasukkan niat sebagai rukun puasa, sebagian lainnya
menjadikan niat sebagai syarat puasa. Apapun kesimpulannya, orang yang
hendak berpuasa diharuskan menyertakan niat berpuasa untuk beribadah
karena Allah Ta’ala.
- Dalam hadits Hafshah (656) disimpulkan bahwa bagi
yang ingin berpuasa, diharuskan memantapkan niat di malam sebelum fajar.
Waktunya sejak terbenam matahari hingga menjelang terbit fajar. Para
ulama umumnya mengatakan bahwa keharusan ini berlaku pada puasa Ramadan,
juga termasuk puasa yang dianggap wajib, seperti puasa nazar, kafarat,
dll.
- Adapun terhadap puasa sunah, dibolehkan jika baru
niat di pagi hari setelah fajar, jika dia belum melakukan sesuatu yang
membatalkan puasa, berdasarkan dalil hadits Aisyah (657) yang disebutkan
berikutnya.
- Niat itu sendiri adalah berkehendak di dalam hati
untuk melakukan sesuatu. Maka seseorang cukup dikatakan telah niat
apabila di malam Ramadan dia sudah niat puasa keesokan harinya, atau
jika dia makan sahur untuk puasa, maka itu pun sudah dianggap niat. Jika
melihat kasusnya, sebenarnya sangat jarang didapatkan seorang muslim
yang tinggal di negeri muslim yang tidak niat berpuasa di malam harinya.
- Tidak ada redaksi khusus yang ditetapkan syariat
untuk diucapkan sebagai niat berpuasa. Di sebagian masyarakat, selepas
shalat taraweh, jamaah shalat membaca redaksi yang mereka anggap sebagai
niat, seperti bacaan “nawaitu shauma ghodin….. “ Sebagian
orang merasa dirinya belum niat kalau dia tidak membaca redaksi
tersebut. Itu keliru. Sebagaimana telah dikatakan, dia sudah dianggap
niat, jika besok dia sudah berencana berpuasa Ramadan, atau dia sahur
untuk berpuasa.
- Apakah cukup niat sekali untuk sebulan Ramadan
ataukah niat harus dilakukan setiap malam? Jumhur ulama berpendapat
bahwa niat harus dilakukan setiap malam. Sebab menurut mereka, puasa di
bulan Ramadan masing-masing berdiri sendiri, kalau ada satu hari yang
batal, maka hari-hari lainnya tidak dianggap batal. Adapun yang masyhur
dalam mazhab Maliki, niat puasa dapat dilakukan pada malam pertama untuk
sebulan, kecuali jika ada satu hari dia tidak berpuasa, maka dia harus
berniat lagi untuk puasa hari berikutnya. Karena menurutnya, puasa di
bulan Ramadan adalah satu kesatuan yang tak terpisah. Pendapat jumhur
ulama lebih hati-hati. Wallahua’lam.
- Terkait dengan hadits Aisyah (657) di dalamnya
terdapat pelajaran tentang kesederhanaan rumah tangga Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dan bahwa beliau tidak memberatkan
isterinya.
- Berdasarkan hadits ini (657) para ulama menyimpulkan
bahwa dalam puasa sunah, seseorang boleh niat di pagi hari selama belum
melakukan sesuatu yang membatalkan puasa. Juga disimpulkan oleh para
ulama bahwa dalam puasa sunah, seseorang boleh membatalkannya begitu
saja. Apalagi jika ada alasan yang dipandang baik. Namun jika ada alasan
mendesak, lebih baik diteruskan berpuasa, bahkan sebagian ulama
mengharuskannya. Tetapi dalam puasa wajib, seorang yang telah niat
berpuasa, tidak boleh membatalkannya begitu saja, kecuali jika ada
uzur/alasan yang diterima syara’. Wallahua’lam.