Sabtu, 05 Mei 2012

Misteri Doa Mustajab di Hari Jumat





Misteri Doa Mustajab di Hari JumatAllah SWT melebihkan hari Jum’at dari hari-hari lainnya dalam sepekan dengan banyak keutamaan. Di antaranya pada hari Jum’at terdapat suatu waktu yang doa seorang muslim pada waktu tersebut dikabulkan oleh Allah SWT, selama memenuhi syarat-syarat dan adab-adab berdoa.

Keutamaan terkabulnya doa pada waktu mustajab tersebut disebutkan dalam beberapa hadits. Di antaranya,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً، لَا يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ، يَسْأَلُ اللهَ فِيهَا خَيْرًا، إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ»، قَالَ: وَهِيَ سَاعَةٌ خَفِيفَةٌ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, “Sesungguhnya pada hari Jum’at terdapat suatu jam (waktu) tertentu, tidaklah seorang muslim mendapati waktu tersebut dan berdoa kepada Allah memohon kebaikan, melainkan Allah akan memenuhi permohonannya.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lalu bersabda, “Waktu tersebut hanya sebentar.” (HR. Bukhari no. 6400 dan Muslim no. 852, dengan lafal Muslim)
Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai kapan waktu mustajab tersebut. Sebagian ulama menyatakan sejak bakda Shubuh. Sebagian lain menyatakan sejak khatib naik mimbar sampai waktu dilaksanakan shalat Jum’at. Sebagian lain menyatakan waktu khatib duduk sebentar di antara dua khutbah. Dan sejumlah pendapat lainnya.

Pendapat yang paling kuat menyatakan waktu tersebut adalah satu jam terakhir di sore hari, yaitu satu jam sebelum matahari terbenam pertanda waktu shalat maghrib telah masuk. Hal ini berdasarkan sejumlah hadits shahih berikut,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَامٍ، قَالَ: قُلْتُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ: إِنَّا لَنَجِدُ فِي كِتَابِ اللَّهِ: «فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ سَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُؤْمِنٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ فِيهَا شَيْئًا إِلَّا قَضَى لَهُ حَاجَتَهُ» . قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: فَأَشَارَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَوْ بَعْضُ سَاعَةٍ» ، فَقُلْتُ: صَدَقْتَ، أَوْ بَعْضُ سَاعَةٍ. قُلْتُ: أَيُّ سَاعَةٍ هِيَ؟ قَالَ: «هِيَ آخِرُ سَاعَاتِ النَّهَارِ» . قُلْتُ: إِنَّهَا لَيْسَتْ سَاعَةَ صَلَاةٍ، قَالَ: «بَلَى. إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا صَلَّى ثُمَّ جَلَسَ، لَا يَحْبِسُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ، فَهُوَ فِي الصَّلَاةِ»
Dari Abdullah bin Salam Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sedang duduk, maka saya mengatakan, “Sesungguhnya kami (kaum Yahudi, sebelum ia masuk Islam, pent) mendapati dalam kitab Allah (Taurat, pent) bahwa pada hari Jum’at terdapat suatu jam (waktu) tertentu, tidaklah seorang mukmin mendapati waktu tersebut saat ia melaksanakan shalat dan berdoa kepada Allah memohon suatu keperluan, melainkan Allah akan memenuhi keperluannya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberi isyarat kepadaku (Abdullah bin Salam) lalu bersabda, “Atau sebagian waktu (tidak satu jam penuh, pent).” Aku (Abdullah bin Salam) berkata: “Anda benar, memang sebagian waktu saja.” Abdullah bin Sallam lalu bertanya, “Waktu apakah ia?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Waktu (satu jam) terakhir dari waktu siang hari.” Abdullah bin Sallam berkata: “Tetapi waktu tersebut bukan waktu untuk shalat.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Ia adalah waktu shalat. Sebab, jika seorang mukmin menunaikan shalat (Ashar) kemudian duduk di tempatnya menunggu shalat berikutnya (Maghrib), maka sesungguhnya selama itu tengah mengerjakan shalat.” HR. Ibnu Majah no. 1139, Al-hafizh Al-Bushiri berkata: Sanadnya shahih dan para perawinya tsiqah)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «يَوْمُ الْجُمُعَةِ ثِنْتَا عَشْرَةَ - يُرِيدُ - سَاعَةً، لَا يُوجَدُ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا، إِلَّا أَتَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ»
Dari Jabir bin Abdullah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, “Hari Jum’at terdiri dari dua belas jam. Tidak ada seorang muslim pun yang memohon sesuatu kepada Allah (pada suatu jam tertentu), melainkan Allah akan mengabulkannya. Maka carilah jam terkabulnya doa tersebut pada satu jam terakhir setelah shalat Ashar!” (HR. Abu Daud no. 1048 dan An-Nasai no. 1389, sanadnya baik, dinyatakan shahih oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi, An-Nawawi, dan Al-Albani, dan dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar al-Aasqalani)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: التَمِسُوا السَّاعَةَ الَّتِي تُرْجَى فِي يَوْمِ الجُمُعَةِ بَعْدَ العَصْرِ إِلَى غَيْبُوبَةِ الشَّمْسِ.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Carilah satu jam yang diharapkan pada hari Jum’at pada waktu setelah shalat Ashar sampai waktu terbenamnya matahari!” (HR. Tirmidzi no. 489, di dalamnya terdapat seorang perawi yang lemah bernama Muhammad bin Abi Humaid az-Zuraqi. Namun hadits ini diriwayatkan dari jalur lain oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Awsath dan dikuatkan oleh hadits Jabir bin Abdullah dan Abdullah bin Salam di atas)

Imam Sa’id bin Manshur meriwayatkan sebuah riwayat sampai kepada Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa sekelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumpul dan saling berdiskusi tentang satu jam terkabulnya doa pada hari Jum’at. Mereka kemudian bubar dan tiada seorang pun di antara mereka yang berbeda pendapat bahwa satu jam tersebut adalah satu jam terakhir pada hari Jum’at.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari menyatakan riwayat imam Sa’id bin Manshur ini shahih. Beliau lalu berkata, “Pendapat ini juga dianggap paling kuat oleh banyak ulama seperti imam Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rahawaih, dan dari kalangan madzhab Maliki adalah imam ath-Tharthusyi. Imam Al-‘Allai menceritakan bahwa gurunya, imam Ibnu Zamlikani yang merupakan pemimpin ulama madzhab Syafi’i pada zamannya memilih pendapat ini dan menyatakannya sebagai pendapat tegas imam Syafi’i.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Lihat Selengkapnya »»  

Syariat Adzan Dalam Ajaran Islam




Disyariatkan adzan dan iqamah ini berdasarkan nash syariat, di antaranya kisah Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khaththab, sebagaimana tersebut dalam hadits Abdullah bin Zaid yang telah kami jelaskan di depan, dan merupakan ijma’ untuk shalat lima waktu.
Imam An Nawawi mengatakan: “Adzan dan iqamah disyariatkan berdasarkan nash-nash syariat dan Ijma’. Dan tidak disyariatkan (adzan dan iqamah ini) pada selain shalat lima waktu, tidak ada perselisihan (dalam masalah ini)”.[1]
Awal disyariatkannya terjadi pada tahun pertama hijriyah. Tersebut di dalam hadits Ibnu Umar yang berbunyi:
كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلاةَ لَيْسَ يُنَادَى لَهَا فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِي ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ بُوقًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ فَقَالَ عُمَرُ أَوَلاَ تَبْعَثُونَ رَجُلاً يُنَادِي بِالصَّلاَةِ فَقَالَ رَسُولُ الهَِn يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ
Kaum muslimin, dahulu ketika datang ke Madinah berkumpul, lalu memperkirakan waktu shalat, tanpa ada yang menyerunya. (Hingga) pada suatu hari, mereka berbincang-bincang tentang hal itu. Sebagian mereka berkata “gunakan saja lonceng seperti lonceng Nashara”. Dan sebagian menyatakan “gunakan saja terompet seperti terompet Yahudi”. Maka Umar berkata: “Tidakkah kalian mengangkat seseorang untuk menyeru shalat?” Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Wahai, Bilal. Bangun dan serulah untuk shalat. [2]
Imam Asy Syaukani menyatakan, inilah yang paling shahih dari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam penentuan awal waktu disyariatkan adzan [3]. Hal ini juga yang dirajihkan Imam Ibnu Hajar.[4]
Adapun hukumnya, para ulama berselisih dalam beberapa pendapat. Yang mendekati kebenaran dari pendapat-pendapat tersebut, ialah pendapat yang mewajibkannya, berdasarkan hadits Malik bin Al Huwairits :
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الهُn عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِي فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا رَأَى شَوْقَنَا إِلَى أَهَالِينَا قَالَ ارْجِعُوا فَكُونُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَصَلُّوا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ رواه البخاري
Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama beberapa orang dari kaumku, kemudian kami tinggal di sisinya selama 20 hari. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seorang yang dermawan dan sangat lemah lembut. Ketika Beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga, maka Beliau berkata : “Pulanglah kalian dan tinggallah bersama mereka, dan ajarilah mereka (agama Islam) serta shalatlah kalian. Apabila datang waktu shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian beradzan. Dan orang yang paling dituakan mengimami shalat kalian.[5]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :
مَا مِنْ ثَلاَثَةٍ فِي قَرْيَةٍ لاَ يُؤَذَّنُ وَلاَ تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلاَةُ إِلاَّ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ رواه أحمد
Tidak ada tiga orang di satu desa yang tidak ada adzan dan tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali setan akan memangsa mereka.[6]
Demikian pendapat yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibnu Al Utsaimin[7] dan Syaikh Al Albani.
Syaikh Al Albani mengatakan : “Sungguh, pendapat yang menyatakan adzan hanyalah Sunnah jelas merupakan kesalahan. Bagaimana bisa, padahal ia termasuk syi’ar Islam terbesar, yang jika Nabi n tidak mendengarnya di negeri suatu kaum yang akan Beliau perangi, maka Beliau akan memerangi mereka. Jika mendengar adzan pada mereka, Beliau menahan diri, sebagaimana telah diriwayatkan dalam Shahihain dan selainnya. Dan perintah adzan sudah ada dalam hadits shahih lainnya. Padahal hukum wajib dapat ditetapkan dengan dalil yang lebih rendah dari ini. Maka yang benar, adzan adalah fardhu kifayah, sebagaimana dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa (1/67-68 dan 4/20). Bahkan juga bagi seseorang yang shalat sendirian”. [8]
Bahkan Syaikhul Islam menegaskan hukum ini dengan pernyataannya : “Yang benar, adzan itu fardhu kifayah”.[9]
Ibnu Hazm mengomentari permasalahan ini dengan pernyataannya : "Kami tidak mengetahui orang yang menyatakan tidak wajibnya adzan dan iqamah (ini) memiliki hujjah. Seandainya Rasulullah tidak menghalalkan darah dan harta suatu kaum yang Beliau tengarai dengan tidak adanya adzan pada mereka, tentulah cukup untuk mewajibkannya”.[10]
 
HUKUM-HUKUM SEPUTAR ADZAN
Ada beberapa permasalahan seputar adzan yang cukup penting diketahui, di antaranya:
 
1. Disunnahkan beradzan dalam keadaan berdiri.
Ibnu Al Mundzir berkata: “Para ulama yang saya hafal, (mereka) sepakat, bahwa sunnah beradzan dengan berdiri” [11]. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Bilal dalam hadits Abu Qatadah:
إِنَّ الهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلاَلُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاَةِ
Sesungguhnya Allah mencabut ruh-ruh kalian kapan (Dia) suka, dan mengembalikannya kapan (Dia) suka. Wahai, Bilal! Bangun dan beradzanlah untuk shalat. [HR Al Bukhari].
Juga disunnahkan menghadap kiblat [12]. Syaikh Al Albani menyatakan: “Telah shahih dalil menghadap kiblat dalam adzan dari malaikat, sebagaimana yang dilihat Abdullah bin Zaid Al Anshari dalam mimpinya”. [13]

2. Disunnahkan beradzan di tempat yang tinggi, agar lebih keras terdengar dalam menyampaikan adzan [14]. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits seorang wanita dari Bani Najjar yang menyatakan:
كَانَ بَيْتِي مِنْ أَطْوَلِ بَيْتٍ حَوْلَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ بِلاَلٌ يُؤَذِّنُ عَلَيْهِ الْفَجْرَ
Rumahku, dahuku termasuk rumah yang tertinggi di sekitar masjid (nabawi), dan Bilal, dulu beradzan fajar di atas rumah tersebut. [HR Abu Dawud dan dihasankan Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil, hadits no. 229, hlm. 1/246].

3. Muadzin disunnahkan memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri pada hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain)
Berdasarkan hadits Abu Juhaifah yang berbunyi:
أَنَّهُ رَأَى بِلَالاً يُؤَذِّنُ فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَهُنَا وَهَهُنَا بِاْلأَذَانِ
Sesungguhnya Beliau melihat Bilal beradzan, lalu aku melihat mulutnya disana dan disini mengucapkan adzan. [HR Al Bukhari].
Dan dalam riwayat Muslim dengan lafadz:
فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا يَقُولُ يَمِينًا وَشِمَالاً يَقُولُ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
Lalu mulailah aku memperhatikan mulutnya diputar kesana dan kesini, yaitu ke kanan dan ke kiri mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, hayya ‘ala al falah.
Imam An Nawawi menjelaskan, disunnahkan memalingkan wajah dalam hai’alatain ke kanan dan ke kiri. Dalam tata cara memalingkan wajah, yang mustahab ada tiga cara, yaitu :
Pertama. Ini yang paling benar dan telah ditetapkan ahli Iraq dan sejumlah ahli Khurasan (dalam madzhab Syafi’i), bahwa memalingkan ke kanan dengan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, hayya ‘ala ash shalat, kemudian berpaling ke kiri dan mengucapkan hayya ‘ala al falah, hayya ‘ala al falah.
Kedua. Berpaling ke kanan dan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, kemudian kembali menghadap kiblat, kemudian berpaling ke kanan lagi dan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat. Kemudian berpaling ke kiri dan mengucapkan hayya ‘ala al falah, lalu kembali menghadap kiblat, kemudian berpaling ke kiri lagi dan mengucapkan hayya ‘ala al falah.
Ketiga. Pendapat Al Qafal, yaitu mengucapkan hayya ‘ala ash shalat satu kali berpaling kekanan, dan satu kali berpaling ke kiri; kemudian mengucapkan hayya ‘ala al falah satu kali berpaling ke kanan dan satu kali berpaling ke kiri.[15]

4. Disunahkan meletakkan kedua jemari di telinga, sebagaimana hadits Abu Juhaifah dengan lafadz:
رَأَيْتُ بِلاَلاً يُؤَذِّنُُ وَيُتْبِعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا وَإِصْبَعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ وَرَسُولُ الهَِ صَلَّى الهَُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قُبَّةٍ لَهُ حَمْرَاءَ أُرَاهُ
Aku melihat Bilal beradzan dan memutar mulutnya ke sana dan ke sini serta kedua jarinya di telinganya. [HR Ahmad dan At Tirmidzi, dan At Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani menshahihkannya di dalam Irwa’ Al Ghalil, no. 230, hlm. 1/248].
Setelah menyampaikan hadits ini, Imam At Tirmidzi berkata: “Inilah yang diamalkan para ulama. Mereka mensunnahkan seorang muadzin memasukkan kedua jemarinya ke kedua telinganya dalam adzan. Dan sebagian ulama menyatakan juga, di dalam iqamat memasukkan kedua jemarinya ke kedua telinganya. Demikian ini pendapat Al ‘Auza’i”.[16]

5. Disunnahkan MENGERASKAN SUARA dalam adzan [17]
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
فَإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Tidaklah mendengar suara muadzin bagi jin dan manusia serta (segala) sesuatu, kecuali memberikan kesaksian untuknya pada hari Kiamat. [HR Al Bukhari].
 
HUKUM MENDENGAR DAN MENJAWAB ADZAN DAN IQAMAT
Para ulama terbagi dalam dua pendapat berbeda berkaitan dengan hukum mendengar dan menjawab adzan.

1. Hukumnya wajib.
Demikian ini pendapat madzhab Azh Zhahiriyah dan Ibnu Wahb. Dalil yang dibawakan ialah hadits Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi :
أَنَّ رَسُولَ الهِl صَلَّى الهُy عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika kalian mendengar adzan, maka jawablah seperti yang disampaikan muadzin”. (Muttafaqun ‘alaihi) [18].
Dalam hadits ini terdapat perintah menjawab adzan, dan perintah, pada asalnya menunjukkan wajib.

2. Hukumnya sunnah.
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama [19]. Mereka menyatakan, bahwa hadits Abu Sa’id di atas dipalingkan dari wajib menjadi sunnah dengan hadits ‘Aisyah yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ الهِa صَلَّى الهُn عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ يَتَشَهَّدُ قَالَ وَأَنَا وَأَنَا
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika mendengar muadzin membaca syahadat, maka Beliau berkata “dan aku dan aku”. [HR Abu Dawud].
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menjawab adzan secara sempurna. Mereka juga berdalil dengan hadits Anas bin Malik :
كَانَ رَسُولُ الهِ صَلَّى الهُa عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغِيرُ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ وَكَانَ يَسْتَمِعُ اْلأَذَانَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَإِلاَّ أَغَارَ فَسَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ الهُع أَكْبَرُ الهَُ أَكْبَرُ فَقَالَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهُق عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْفِطْرَةِ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الهُل فَقَالَ رَسُولُ الهِ صَلَّى الهُّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجْتَ مِنْ النَّارِ
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerang (suatu kaum) ketika terbit fajar. Dan Beliau memperhatikan adzan. Apabila Beliau mendengar, maka Beliau menahan. Dan bila tidak (mendengar), maka Beliau menyerang. Lalu Rasulullah mendengar seseorang berkata: (الهُ أَكْبَرُ الهُُ أَكْبَرُ ), maka Beliau menjawab: “Di atas fithrah” (عَلَى الْفِطْرَةِ ), kemudian ia (seseorang itu) mengatakan:
(أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الهُا أَشْهَدُ ) dan Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Engkau telah keluar dari neraka”. [HR Muslim].
Dalam menjelaskan hadits ini, Ibnu Hajar menyatakan, ada sebagian riwayat berkaitan dengan hadits ini yang menunjukkakan, bahwa hal ini terjadi ketika waktu akan shalat [20]. Hal ini juga didukung oleh amalan kaum mualimin pada zaman Umar, sebagaimana disampaikan Tsa’labah bin Abi Malik :
كَانُوْا يَتَحَدَّثُوْنَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَ عُمَرُ جَالِسٌ عَلَى الْمِنْبَرِ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ قَامَ عُمَرُ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ
Mereka dahulu berbincang-bincang pada hari Jum’at dan Umar duduk di atas mimbar. Jika muadzin selesai adzan, maka Umar bangun dan tak seorangpun berbicara. [HR Asy Syafi’i dalam Al Um, dan dishahihkan An Nawawi, sebagaimana dijelaskan Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 339].
Riwayat ini juga dikuatkan dengan riwayat yang dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih, sebagai berikut:
أَدْرَكْتُ عُمَرَ وَ عُثْمَانَ فَكَانَ الإِمَامُ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ تَرَكْنَا الصَّلاَةَ فَإِذَا تَكَلَّمنَا تَرَكْنَا الْكَلاَمَ
Aku menjumpai Umar dan Utsman; jika seorang imam keluar (menuju masjid), maka kami meninggalkan shalat, dan bila berbicara (berkhutbah), maka kami meninggalkan perbincangan. [HR Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan Al Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 340].
Pendapat ini yang dirajihkan Syaikh Al Albani [21] dan Syaikh Masyhur Salman.
Syaikh Al Albani mengatakan: Dalam atsar ini, terdapat dalil yang menunjukkan tidak wajibnya menjawab (seruan) muadzin, karena pada zaman Umar terjadi amalan berbincang-bincang ketika adzan, dan Umar diam. Saya banyak ditanya tentang dalil yang memalingkan perintah yang menunjukkan kewajiban menjawab adzan. Maka saya menjawab dengan atsar ini. Demikian juga iqamat, dalam hal ini sama hukumnya dengan adzan, sebagaimana dinyatakan Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta, dalam pernyataan mereka yang berbunyi “termasuk sunnah seorang yang mendengar iqamat menjawab seperti ucapan muqim (orang yang beriqamah); karena iqamat merupakan adzan kedua, sehingga dijawab seperti dijawabnya adzan [22]. Wallahu a’lam.
 
MENJAWAB ADZAN DALAM KEADAAN SHALAT
Berdasarkan hukum di atas, maka muncullah permasalahan lainnya, yaitu bagaimana hukum seseorang yang sedang shalat mendengar adzan, apakah perlu menjawab ataukah tidak? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat ulama:

1. Wajib menjawab adzan walaupun dalam shalat, kecuali ucapan hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain). Demikian pendapat madzhab Azh Zhahiriyah dan Ibnu Hazm.
Ibnu Hazm berkata: “Barangsiapa mendengar muadzin, maka jawablah sebagaimana yang diucapkan muadzin sama persis dari awal adzan sampai akhirnya. Baik ia berada di luar shalat atau di dalam shalat. Baik shalat wajib ataupun sunnah. Kecuali hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain), maka tidak diucapkan dalam shalat, dan diucapkan di luar shalat”.
Dalilnya ialah hadits Abdullah bin Amru dan Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ الهِi صَلَّى الهُu عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika kalian mendengar adzan, maka jawablah seperti yang disampaikan muadzin. [Muttafaqun ‘alaihi].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm tidak mengkhusukan hal itu dalam shalat atau di luar. Sedangkan hai’latain merupakan ucapan manusia yang mengajak kepada shalat. Adzan seluruhnya adalah dzikir, dan shalat adalah tempat berdzikir”.[23]

2. Tidak menjawab adzan bila dalam keadaan shalat.
Demikian ini pendapat mayoritas ulama (jumhur), dengan berdalil hadits Abdullah bin Mas’ud yang berbunyi:
كُنَّا نُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى الهُ) عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ فَيَرُدُّ عَلَيْنَا فَلَمَّا رَجَعْنَا مِنْ عِنْدِ النَّجَاشِيِّ سَلَّمْنَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ فِي الصَّلاَةِ شُغْلاً
Kami, dahulu memberikan salam kepada Nabi n dalam keadan Beliau shalat dan Beliau membalasnya. Ketika kami kembali dari negeri Najasi, kami memberi salam kepada Beliau dan (Beliau) tidak menjawab salam kami dan berkata: “Sesungguhnya dalam shalat adalah satu kesibukan”. [Muttafaqun ‘alaihi].
Hadits ini, menurut jumhur menunjukkan makruhnya menjawab salam yang hukumnya wajib, lalu bagaimana dengan adzan yang hukum menjawabnya saja sunnah? Terlebih lagi dalam shalat, seseorang sedang sibuk bermunajah kepada Allah, sehingga menjawab adzan dapat merusak kekhususan tersebut.

3. Menjawab adzan pada shalat sunnah dan tidak menjawab dalam shalat fardhu.
Demikian salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah.
Adapun menurut penulis, dalam hal ini cenderung menguatkan pendapat jumhur, berdasarkan sunnahnya menjawab adzan yang telah dikemukan di atas. Wallahu a’lam.
 
DISYARIATKAN MEMBACA SHALAWAT DAN DOA SETELAH ADZAN
Sebagaimana telah diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amru yang berbunyi:
عَنْ عَبْدِ الهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى الهُd عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى الهُي عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا الهَو لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ الهِر وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
Dari Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash, ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Jika kalian mendengar muadzin, maka jawablah seperti apa yang ia katakan, kemudian bershalawatlah untukku, karena barangsiapa yang bershalawat untukku, maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintakanlah kepada Allah untukku al wasilah, karena ia adalah satu kedudukan di surga yang tidak sepatutnya, kecuali untuk seorang hamba Allah; dan aku berharap, (bahwa) akulah ia. Barangsiapa yang memohonkan untukku al wasilah, maka akan mendapat syafaatku. [HR Muslim].
Permohonan wasilah ini dicontohkan dalam hadits Jabir yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ الهِs صَلَّى الهُc عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang ketika (selesai) mendengar adzan berkata:
اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ
Maka mendapatkan syafaatku pada hari kiamat. [HR Al Bukhari].
Demikianlah sebagian hukum-hukum seputar adzan dan iqamat, yang penulis sampaikan secara ringkas. Mudah-mudahan bermanfaat.
Oleh Ustadz Kholid Syamhudi

Lihat Selengkapnya »»  

Sedekah, Do It & Forget It





Sedekah, Do It & Forget It
Bila kita pahami sedekah berasal dari kata shadaqah sama dengan akar kata sidiq, yang artinya membenarkan. Apa yang sebenarnya yang dibenarkan, yaitu hukum Allah SWT. “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. (QS. Al Lail, 92 : 5-7)

Sedekah dalam ayat ini adalah membenarkan balasan yang terbaik, karena itu sedekah adalah semangat untuk memberi dan berbagi. Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW menyebutkan bahwa senyum adalah sebuah bentuk sedekah. Jika senyum saja sebagai tindakan yang paling mudah untuk membuat orang lain senang sudah termasuk sedekah, apalagi tindakan yang lain.

Rasullullah SAW menegaskan, “Setiap kebajikan adalah sedekah” (HR Bukhari). Secara luas kita dapat saja bersedekah lewat ucapan yang baik, budi pekerti, ilmu, tenaga, dan lain sebagainya termasuk harta. Dan jangan takut harta kita akan habis bila bersedekah, karena Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Jika dunia mendatangimu, sedekahkanlah karena yang kau sedekahkan itu tidak akan habis”, ini sesuai sabda Rasullullah, “sedekah itu tidak akan mengurangi harta” (HR Muslim). Karena itu segera lakukan dan lupakan, DO IT & FORGET IT !

Mengapa karena jika kita tidak segera melupakannya sedekah kita biasanya akan terganggu. Niat ikhlas bisa saja menjadi riya (ingin dilihat) atau sum’ah (ingin dibicarakan).

Maka dari itu Alquran menegaskan, “Hai orang-orang  yang  beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. (QS Al Baqoroh, 2 ; 264).

Kemudian seorang lelaki bertanya kepada Rasullullah, “Ya Rasullullah, sedekah apakah yang paling utama?” Beliau bersabda, ‘bahwa engkau bersedekah ketika engkau masih sehat dan segar bugar, ketika masih memiliki kekayaan dan sangat khawatir terhadap kemiskinan, dan jangan ditunggu-tunggu hingga nafasmu sampai ke tenggorokan.

Ketika itu engkau akan berkata, “Untuk si fulan sekian... untuk si fulans sekian, padahal harta tersebut sudah menjadi hak si fulan (ahliwaris).” (HR Bukhari, dari Abu Hurairah RA).  Oleh karena itu sebelumnafas sampai kerongkongan, ketika hayat masih di kandung badan, Mari segera lakukan dan lupakan, do it & forget it !, Insya Allah.

Tidaklah lebih baik dari yang berbicara ataupun yang mendengarkan, karena yang lebih baik disisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.

Ustaz Erick Yusuf: Pemrakarsa Training iHAQi (Integrated Human Quotient)
Twitter: @erickyusuf
Lihat Selengkapnya »»  

Manusia Punya Energi Menolak Kemungkaran




Manusia Punya Energi Menolak Kemungkaran
Hasil Penelitian Virginia Tech, yang dipublikasikan oleh Journal of Royal Society Interface, hanya dengan sekali bersin seseorang telah mengontaminasi satu ruangan dengan virus flu. Virus tersebut akan tetap aktif walaupun telah lewat satu jam. 

Yang mencengangkan, setelah menganalisis sampel udara dari tiga jenis ruangan, yaitu pesawat terbang, ruang tunggu sebuah klinik kesehatan, dan ruang perawatan, diketahui bahwa setiap meter kubik udara terdapat 16 ribu partikel virus flu. Masya Allah!

Itu baru satu jenis virus. Padahal jumlah jenisnya saja tak terhitung, apalagi jumlah populasinya.
Dengan demikian, jika sampai sekarang populasi manusia masih tetap eksis, itu menunjukkan bahwa manusia memiliki daya tahan tubuh luar biasa.

Jika secara fisik manusia dapat bertahan karena dibekali pertahanan yang kokoh seperti itu, maka demikian pula secara nonfisik (kejiwaan), pasti ada sistem pertahanan yang juga luar biasa.

Keselamatan jiwa (hati) menjadi barometer eksistensi diri manusia. Sebab, manusia yang hatinya rusak tidak bisa disebut sebagai manusia. Ia telah terjerembab dalam kasta binatang.

Allah Subhanahu Wata’ala, dalam al-Qur`an surat Al-A’raf [7] ayat 179, menjelaskan bahwa isi neraka jahannam itu kebanyakan berasal dari bangsa jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah Subhanahu Wata’ala. Mereka mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu Wata’ala. Mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah.

Mereka itu, kata Allah SWT, bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

Sebagai penegas, Allah Subhanahu Wata’ala juga mengatakan:

أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلاً

أَلَمْ تَرَ إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاء لَجَعَلَهُ سَاكِناً ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلاً


Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Al-Furqan [25]: 43-44)

Oleh sebab itu wajar bila manusia normal memiliki fitrah untuk menyelamatkan diri, baik secara fisik maupun nonfisik, dari berbagai bahaya (madharrat) yang mengancam eksistensinya. Hanya orang stres yang nekat bunuh diri, atau orang gila yang mau makan makanan busuk yang kotor dan membahayakan.

Yang Harus Dicegah

Fitrah normal yang mendorong manusia untuk menarik sebanyak mungkin manfaat, juga terwujud dalam bentuk dorongan untuk menolak madharrat.
Semangat untuk mengejar peluang kebaikan memberikan daya tolak yang setara terhadap peluang keburukan. Contoh terbaik dalam hal ini tak lain adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.

Betapa sering Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam berdoa dengan menggunakan kata “ أسألك" (aku meminta kepada-Mu). Beliau juga sering menyebut manfaat yang beliau inginkan ketika berdoa. Misalnya, اللهم اغفر لي ، وارحمني
Beliau juga kerap menggunakan kata yang mengindikasikan penolakan dan pencegahan. Misalnya, “ أعوذُ  “. Semua doa yang diawali dengan kata itu pasti  bermakna penolakan terhadap madharrat dan pencegahan dari musibah yang akan menimpa.

Selain hal-hal di atas, hal lain yang kerap dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam adalah:

 1.   Senantiasa memohon agar selalu memberi manfaat dan mengindari potensi kemungkaran. Pada waktu pagi, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam berdoa:

رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِي هَذَا الْيَوْمِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهُ، وَأَعُوذُبِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِي هَذَا الْيَوْمِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهُ

Wahai tuhanku, aku mohon kepada-Mu kebaikan di hari ini dan kebaikan di waktu sesudahnya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan hari ini dan kejahatan di waktu sesudahnya.” (Riwayat Muslim)

Begitu pula banyak doa sejenis yang senantiasa beliau panjatkan secara rutin, baik di pagi maupun sore hari.

2. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam juga memohon kepada Allah Subhanahu Wata’ala untuk dibebaskan dari kemungkaran pihak manapun tanpa terkecuali, dengan doa, ”Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna yang tidak akan dilampaui seorang yang baik maupun yang jahat, dari keburukan segala yang ia ciptakan, dari keburukan segala yang turun dari langit dan yang naik ke langit, dan dari keburukan segala yang ia ciptakan di bumi dan yang ke luar darinya.” (Riwayat Ahmad)
Masih banyak doa-doa Nabi Shallallahu "alaihi Wassalam yang menandakan sikap waspada dan antisipasi dari berbagai macam bahaya yang terbayangkan maupun yang tidak terduga.

Pihak Pengancam

Ada tiga pihak yang menjadi ancaman manusia terkait eksistensi kehambaan di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala.
Pertama, setan. Sejak awal penciptaan manusia, iblis telah bersumpah serapah dengan mengatakan:
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ
(Iblis) berkata, “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (Al-Hijr [15]: 39)

Setan mengepung untuk menggoda manusia dari segala sisi. Allah SWT mengungkap upaya mereka:

ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka.” (Al-A’raf [7]: 17)

Kedua, nafsu yang melekat dalam diri manusia. Pada dosis tertentu, nafsu sebenarnya mempunyai manfaat bagi manusia. Namun, jika dosisnya lebih dari itu akan menjelma menjadi racun spiritual yang sangat berbahaya. Apalagi setan juga tidak pernah absen mencari kesempatan untuk menungganginya.

Allah Subhanahu Wata’a mengabadikan perkataan emas Zulaikha, istri al-Aziz, dalam al-Qur`an surat Yusuf [12] ayat 53. Kata Zulaikha, ”Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.
Ibn Katsir menerangkan makna ayat ini. Katanya, ”Nafsu sering kali mendorong pemiliknya untuk berbuat keburukan, misalnya dosa besar, karena nafsu adalah kendaraan setan dan dari situlah setan masuk pada diri manusia”. (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim,I/400)

Semua manusia pernah takluk kepada nafsu untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu Wata'ala, baik kafir maupun Muslim. Banyak hal yang dapat dijadikan bukti atas keberhasilan ideologi nafsu. Dominasi ideologi liberal saat ini adalah bukti kesuksesan nafsu.  Merut kaum liberal, atas dasar kebebasan berpendapat, tak dilarang mengkritik dan menghujat agama dan para Nabi.
Ketiga, manusia yang menjadi kawan setan dan budak nafsu. Mereka adalah sesama manusia yang menjadi penerus misi setan untuk menyesatkan orang lain melalui berbagai upaya.

Usaha mereka bermacam-maca. Mulai dari bujukan, sanjungan, pemberian fasilitas, sampai pada tingkat pemaksaan dan pembunuhan secara nyata.
Tentang hal ini, Allah menjelaskan dalam Surat al-Baqarah ayat 217. Kata-Nya, ”Mereka (orang-orang kafir) tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.

Melihat semua dalil dan data kongkrit di atas, tak ada pilihan lain bagi seorang Muslim kecuali harus melakukan upaya pertahanan, penolakan, dan pencegahan sebagai wujud panggilan fitrahnya.

Fitrah itu menghendaki keselamatan seutuhnya, baik raga maupun jiwa, di dunia maupun di akhirat, bagi diri maupun orang-orang yang dicintainya. Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba yang selamat. Wallahu A’lam bish-Shawab.
Lihat Selengkapnya »»  

Adab Bertetangga Ala Rasulullah SAW




Tetangga adalah orang pertama yang mengetahui dan merasakan kebaikan juga gangguan kita. Karena itu, adab mulia bertetangga sangat ditekankan dalam syariat Islam.
Tetangga bisa saja orang yang pintu rumahnya paling dekat dengan kita atau orang yang jauh rumahnya dengan kita, tetapi paling banyak tahu dengan kondisi-kondisi keseharian kita. Dalam syariat Islam, memenuhi hak tetangga karena kedekatan pintu rumah lebih diutamakan ketimbang yang jauh.

Dari Aisyah, dia berkata: "Wahai Rasulullah, saya memiliki dua tetangga, lalu manakah yang lebih aku beri hadiah terlebih dahulu?'' Beliau menjawab: "Yang lebih dekat dengan pintu rumahmu.'' (HR Bukhari-5561)

Begitu pentingnya memuliakan tetangga, sampai-sampai Jibril mewasiatkan secara khusus tentang hal itu. Dari Aisyah, Nabi SAW bersabda: "Jibril senantiasa mewasiatkanku untuk berbuat baik terhadap tetangga sehingga aku mengira tetangga juga akan mendapatkan harta waris.'' (HR Bukhari-5555)

Adab Islam menganjurkan untuk memberi perhatian kepada tetangga dan jangan melalaikan perhatian kepada mereka. Nabi SAW bersabda: "Wahai para wanita Muslimah, janganlah antara tetangga yang satu dan lainnya saling meremehkan walaupun hanya dengan memberi kaki kambing.'' (HR Bukhari-5558). Sekecil apa pun pemberian untuk menunjukkan perhatian dan kebersamaan sosial tidak boleh dianggap ringan walaupun pemberian itu hanya sekadar kaki kambing.

Islam menetapkan bahwa siapa yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah mengganggu tetangganya. Islam juga menegaskan betapa berdosanya seseorang yang tetangganya tak merasa aman dari gangguannya. Dari Abu Syuraih bahwasanya Nabi SAW bersabda: "Demi Allah, tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.'' Ditanyakan kepada beliau: "Siapa yang tidak beriman wahai Rasulullah?'' Beliau bersabda: "Yaitu, orang yang tetangganya tidak merasa aman dengan gangguannya.'' (HR Bukhari-5557)

Islam juga menganjurkan untuk memberikan kelapangan bagi tetangga dan memperhatikan hal-hal kecil yang menjadi kebutuhan tetangga. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah seseorang melarang tetangganya untuk menyandarkan kayunya di dinding rumahnya.'' Kemudian, Abu Hurairah RA berkata: "Jangan sampai aku lihat kalian menolak ketentuan hukum ini. Demi Allah, kalau sampai terjadi, akan aku lempar kayu-kayu itu menimpa pundak-pundak kalian.'' (HR Bukhari-2283). 
Lihat Selengkapnya »»  

Jumat, 04 Mei 2012

Cegah Kanker dengan Minum Sari Kulit Buah Manggis

Cegah Kanker dengan Minum Sari Kulit Buah Manggis
Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatra Barat Kasma Iswari mengungkapkan  temuan bahwa minuman kesehatan yang dibuat dari sari kulit buah manggis dapat mencegah tumbuhnya kanker dan tumor.

Menurut dia di Arosuka, Selasa, kulit buah manggis memiliki kandungan zat xanhone yang cukup banyak. Itu merupakan molekul besar yang terdiri dari berbagai komponen super antioksidan, misalnya, alpha-Mangostin, Garcinone A, beta-Mangostin dan sebagainya.

Antioksidan itu diperlukan tubuh untuk mencegah kerusakan akibat serangan radikal bebas melalui perlindungan terhadap protein, sel, jaringan dan organ-organ tubuh.

“Xanthone juga terbukti untuk menetralkan radikal bebas. Selain itu juga mempunyai sifat sebagai antikanker, antiinflammatory, antimikroba, antialergi, menurunkan kolesterol, tekanan darah dan kadar gula serta dapat menyembuhkan strok,” katanya.

Menurut dia, dengan adanya temuan ini setidaknya bisa membantu masyarakat terutama untuk mencegah pertumbuhan kanker, tumor dan mengobati penyakit strok.

Pada tahun 2005 BPTP Sumbar melakukan penelitian minuman yang dibuat dari bahan baku kulit buah manggis dengan melibatkan setidaknya 40 orang tenaga ahli.
Kepala BPTP Sumbar Prama Yufdi menyatakan pada Juni 2011 temuan tersebut sudah dihakpatenkan oleh Direktorat Jendral (Dirjen) Hak dan Kekayaan Intelektual (Haki) Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkumham).

“Alhamdulillah pada Juni lalu temuan BPTP minuman yang terbuat dari kulit manggis sudah dihakpatenkan,” kata Prama Yufdi didampingi  Kasma Iswar.

Menurut dia, pengajuan untuk hak paten sudah dilakukan sejak tahun 2006. Setelah menunggu penantian panjang dari Kemenkum HAM akhirnya permintaan tersebut dikabulkan dengan No ID P0028639 B, 30 Juni 2011.

Setelah hak paten,  temuan itu dilisensikan kepada PT Zena Nirmala Sentosa yang berproduksi di Bogor dengan sistem royalti.

“Karena kita tidak mungkin memasarkannya, maka hak paten tersebut kita lisensikan kepada pihak PT Zena Nirmala Sentosa agar kemudian bisa dipasarkan sehingga dikonsumsi oleh masyarakat dan berkemungkinan dalam bulan ini sudah dipasarkan,” katanya.

Sumber
Lihat Selengkapnya »»