Ikhlas.
Mudah diucapkan tapi tidak mudah untuk diterapkan. Sufyan Ats Tsauri
pernah berkata, “Sesuatu yang paling sulit bagiku untuk aku luruskan
adalah niatku, karena begitu seringnya ia berubah-ubah.” Seorang ulama
saja masih merasa sulit, bagaimana dengan kita?
Ikhlas berasal
dari kata khalasha yang secara bahasa berarti membersihkan. Sedangkan
secara istilah artinya membersihkan niat dan motivasi, serta hanya
menjadikan Allah sebagai tujuan. Lawan dari ikhlas adalah riya’, yaitu
beramal karena mencari keridhaan manusia, ingin dipuji, dan bukan karena
Allah. Riya’ termasuk salah satu dosa yang merusak amalan, dan ancaman
terhadapnya sangat besar dan keras dalam Al-Quran dan Hadits,
يأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى
كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ
فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ
مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada
manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah,
kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak
bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka
usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir” (QS. Al-Baqarah: 264)
وَالَّذِينَ
يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ رِئَـاء النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ
وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَن يَكُنِ الشَّيْطَانُ لَهُ قَرِيناً فَسَاء
قِرِيناً
“Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta
mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil
syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang
seburuk-buruknya.” (QS. An-Nisa: 38)
وَلاَ
تَكُونُواْ كَالَّذِينَ خَرَجُواْ مِن دِيَارِهِم بَطَراً وَرِئَاء
النَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللّهِ وَاللّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ
مُحِيطٌ
“Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta
mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil
syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang
seburuk-buruknya.” (QS. Al-anfal: 47)
Dan riya’ juga termasuk salah satu sifat orang munafik dan orang kafir,
إنَّ
الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ
إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ
يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Sesungguhnya orang-orang
munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan
apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka
menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142)
الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ () الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ () وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ ()
“(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya’ dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al Maa’uun: 5-7)
Maka
bisa dikatakan bahwa ikhlas adalah salah satu prinsip yang besar dan
penting di dalam agama Islam. Karena hilangnya Ikhlas menjadi sebab
tertolaknya amal ibadah. Dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda:
Sesungguhnya orang yang paling pertama akan diadili pada hari kiamat
adalah seorang lelaki yang mati syahid, maka Allah-pun memperkenalkan
nikmatNya kepadanya dan diapun mengetahuinya. Allah bertanya: Apakah
yang engkau perbuat untuk mendapatkan nikmat tersebut? Maka lelaki
tersebut menjawab: Aku telah berperang dalam rangka menegakkan kalimatMu
sampai mati syahid. Dia membantah lelaki tersebut: “Engkau telah
berdusta, akan tetapi engkau berperang agar dikatakan sebagai seorang
pemberani, dan itu telah dikaitkan kepadamu. Kemudian diperintahkan
untuk diseret di atas wajahnya sehingga dicampakkan ke dalam api neraka.
Kemudian seorang lelaki yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta
membaca Al-Qur’an. Maka diapun didatangkan menghadap Allah untuk
memperlihatkan nikmatnya sehingga diapun mengetahuinya. Allah bertanya:
Apakah yang telah engkau perbuat untuk meraih kenikmatan tersebut?
Lelaki tersebut menjawab: “Aku belajar ilmu agama dan mengajarkannya
serta membaca Al-Qur’an semata karena diriMu. Allah membantah: Engkau
telah berdusta, sesungguhnya engkau menimba ilmu agar dikatakan orang
yang alim dan membaca Al-Qur’an agar orang memujimu sebagai orang pandai
membaca, dan itu telah dikatakan bagimu, maka diperintahkanlah malaikat
menggeretnya di atas wajahnya sehingga dilemparkan ke dalam api neraka.
Dan seorang lelaki yang diluaskan rizkinya oleh Allah dan diberikan
baginya bermacam-macam harta. Maka dia dihadapkan kepada Allah dan Dia
memperkenalkan baginya nikmat-nikmatnya. Lalu Allah bertanya kepadanya:
Apakah yang telah kamu kerjakan untuk mendapatkannya? Dia menjawab:
Tidaklah satu jalan pun yang engkau senangi untuk diinfaqkan harta
padanya kecuali aku menginfakkan harta padanya karena diriMu”. Allah
membantahnya: “Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau mengerjakan
perbuatan tersebut agar dikatakan sebagai orang yang dermawan dan hal
tersebut telah katakan bagimu”. Kemudian dirinya digeret di atas
wajahnya kemudian dicampakkan ke dalam api neraka)). Lalu pada saat
hadits ini sampai kepada Mu’awiyah maka diapun menangis dengan
sejadi-jadinya, lalu pada saat dia telah sadar dia berkata: Maha benar
Allah dan Rasul-Nya:
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan
dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan
pekerjaan mereka di dunia dengan Sempurna dan mereka di dunia itu tidak
akan dirugikan”
“Itulah orang-orang yang tidak memperoleh
di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang Telah
mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang Telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)
Perhatikan
dan renungkanlah hadits di atas. Bagaimana seorang ahli al-Qur’an tidak
mendapatkan syafa’at dari al-Qur’an itu sendiri padahal al-Qur’an
memiliki hak untuk dapat member syafa’at bagi mereka yang senantiasa
membacanya dan mengajarkannya? Tidak adanya syafa’at dari al-Qur’an
disebabkan hilangnya keikhlasan pembacanya. Demikian pula dengan pemilik
harta dimana kebaikannya kepada orang lain dan silaturrahimnya tidak
dapat menjadi penolong baginya, disebabkan hilangnya keikhlasan di
dalamnya. Demikian pula keadaannya dengan sang Pejuang yang terbunuh di
medan perang, dimana terbunuhnya dia di sana tidak dapat memberikan
pertolongan baginya di hari kiamat, disebabkan karena pengorbanannya
hampa dari keikhlasan.
Dari Mahmud bin Labid: Bahwasanya
Rasulullah Saw bersabda: “Hal yang paling aku takutkan terjadi pada diri
kalian adalah syirik kecil” para sahabat bertanya: ‘apa syirik yang
kecil itu wahai Rasul Allah?’, Rasulullah menjawab: “Riya’, pada hari
Qiyamat nanti, pada hari pembalasan atas setiap perbuatan, Allah Swt
akan berkata kepada mereka (yang berlaku riya’): “pergilah kalian kepada
mereka (dimana amalan kalian persembahkan) dan carilah balasan dari
perbuatan kalian itu dari sisi mereka” (Dikeluarkan oleh Ahmad).
Dalam hadits yang lain disebutkan:
Dari
Ibnu ‘Abbas beliau berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang
mencari popularitas dengan amal perbuatannya, maka Allah akan
menyiarkan aibnya dan barang siapa yang riya’ dengan amalnya, maka Allah
akan menampakkan riya’nya” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Masya Allah…
Betapa pentingnya keikhlasan. Ketika keikhlasan terabaikan… Apalagi
yang mau kita andalkan? Padahal ia salah satu syarat diterimanya sebuah
amalan…
Begitu meruginya kalau kita beramal tanpa keikhlasan.
Pertama, amalnya sia-sia karena Allah tolak. Kedua, tidak ikhlas adalah
suatu pertanda ada motivasi lain selain ridha Allah, maka masuklah ke
dalam riya’, dan riya’ adalah syirik. Ketiga, riya’ termasuk salah satu
sifat orang munafik. Wal’iyaadzu billah.
Semoga semua amal-amal kebaikan kita semata-mata murni karena Allah SWT, ikhlas karena Allah swt.
Wallahua’lam.