Ket. Foto: Pelatihan TIK bagi guru-guru yang dilaksanakan di (Broad Learning Centre) Telkom Jember
Di tengah pesatnya perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pada era global seperti
sekarang, guru mesti bersikap adaptif terhadap perkembangan dan dinamika
yang terjadi. Mereka harus mampu memanfaatkan piranti TIK secara
optimal untuk kepentingan pembelajaran. Hal ini seiring dengan gerak
dunia pendidikan
yang terus berkembang secara dinamis. Disamping itu, berdasarkan
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik
dan Kompetensi Guru, standar kompetensi guru dikembangkan secara utuh
dari empat kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian,
sosial, dan profesional yang terintegrasi dalam kinerja guru. Dalam
Permendiknas tersebut secara tersurat dicantumkan bahwa salah satu
kompetensi pedagogik yang harus dikuasai guru adalah kemampuan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan
pembelajaran.
Namun apa yang tersaji di lapangan,
ternyata masih jauh dari harapan pemerintah dan masyarakat sebagaimana
yang tertuang dalam Permendiknas No.16 Tahun 2007 tersebut. Menurut
hasil dari sejumlah penelitian, tingkat penguasaan guru-guru di
Indonesia terhadap TIK tidak lebih dari 50%. Artinya, lebih dari separuh
guru di Indonesia masih buta tekhnologi. Jangankan berkelana di dunia
maya, untuk membuka dan menutup komputer pun masih banyak guru yang
belum bisa.
Kenyataan ini menjadi sangat ironis
dengan kondisi di Negara-negara maju. Amerika salah satu misal.
Sebagaimana yang ditulis oleh http://www.voanews.com
pada 09 Februari 2012, siswa-siswi SMP dan SMA di Washington, telah
menggunakan buku teks digital dalam proses belajar mengajar.
Melihat kenyataan yang jauh bertolak
belakang tersebut, bangsa Indonesia semestinya sadar, dan segera bangkit
untuk mengejar ketertinggalan dalam penguasaan TIK yang sedemikian
jauh. Karena konon mereka yang menguasai dunia adalah mereka yang
menguasai tekhnologi informasi dan komunikasi.
Begitu pentingkah penguasaan tekhnologi
informasi dan komunikasi dalam proses belajar-mengajar? Dengan hanya
melihat manfaat secara umum dari penguasaan TIK, siapapun tidak akan
menampik bahwa TIK menjadi kebutuhan wajib yang harus dikuasai oleh
siapapun yang hidup di jaman informasi seperti sekarang ini.
Namun, lebih dari itu, jika kita mampu
memanfaatkan TIK dengan lebih maksimal, kita juga akan dapat menekan
biaya pendidikan yang saat ini kerap dikeluhkan masyarakat, disamping
manfaat lain berupa peningkatan kualitas pembelajaran.
Penekanan biaya operasional pendidikan
lewat TIK bisa dilakukan dengan banyak cara. Salah satu contoh yang
paling mudah adalah melakukan apa yang telah dilaksanakan siswa-siswi di
Washington, yakni menggunakan komputer tablet untuk mengakses buku-buku
teks digital, atau lebih khusus untuk mengakses Buku Sekolah Elektronik
(BSE) yang telah disediakan Kementrian Pendidikan Nasional yang kini
jumlahnya sudah mencapai 901 judul.
Terkait dengan pemanfaatan BSE,
sebagaimana kita ketahui bersama, pihak yang paling diuntungkan sejak
BSE diluncurkan tetap saja pihak penerbit. Sementara mereka yang terkait
langsung dengan pendidikan, meski juga ikut menikmati keuntungan dari
peluncuran BSE, namun keuntungan tersebut sebatas ditekannya harga buku,
yang menurut masyarakat bawah masih terhitung mahal.
Merujuk hasil survey dari “Sentra
Advokasi untuk Hak Pendidikan Rakyat” (SAHdaR), kebutuhan siswa SMP dan
SMA terhadap buku ajar jika dirupiahkan, setiap semesternya tidak kurang
dari Rp.450.000,00 atau setiap tahunnya tidak kurang dari
Rp.900.000,00. Itupun setiap siswa hanya memperoleh satu judul buku
untuk setiap mata pelajaran.
Sekarang mari kita bandingkan jika kita
memanfaatkan TIK. Awalnya mungkin kita harus mengeluarkan anggaran yang
cukup besar, meski hal itu juga bisa disiasati. Jika kita beli PC Tablet
bermerek seperti Apple atau Galaxy Samsung memang butuh anggaran tidak
kurang dari Rp.4,5 juta. Tapi kalau kita hanya memiliki anggaran sekitar
Rp. 2 juta, laptop atau netbook sudah cukup mewakili. Bahkan andaikata
hanya ada anggaran sekitar Rp. 1 juta, personal computerpun sudah cukup
bisa dipakai untuk mengakses internet.
Dengan
modal awal tersebut, anak-anak kita sudah dapat mengakses semua BSE
yang disediakan Kemendiknas, bisa membuka pustaka pengetahuan yang ada
di Wikipedia, bisa menjelajah setiap penjuru dunia melalui berbagai
situs yang bertebaran di dunia maya, sehingga metode pembelajaran tidak
lagi dilakukan satu arah, dari guru kepada murid, tapi dua arah, karena
terjadi proses sharing pengetahuan antara guru dengan murid.
Melalui internet, para peserta didik
bisa mengakses berbagai informasi dan bahan ajar yang relevan dengan
materi yang dipelajari. Siswa akan terinspirasi dan terasah kepekaaan
logika dan imajinasinya melalui bahan ajar yang mereka peroleh melalui
internet. Dengan demikian, mereka bisa melakukan pendalaman materi lebih
lanjut secara kreatif di luar jam pelajaran efektif.
Bagaimana dengan ketersediaan jaringan internet dan biaya untuk mengakses internet?
Di situlah pokok persoalannya. Kendala
terbesar penguasaan IT di kalangan guru, juga siswa adalah belum
meratanya jaringan koneksi internet. Kesenjangan desa-kota masih sangat
lebar. Sekolah-sekolah di daerah perkotaan sering kebanjiran bandwith,
sementara di daerah pinggiran dan pedesaan masih banyak yang masuk
kawasan “blank-spot”. Kesenjangan semacam ini, disadari atau tidak,
berdampak luas terhadap penguasaan IT di kalangan guru dan murid. Belum
lagi persoalan biaya koneksi internet yang masih tergolong mahal.
Untuk itu, harus ada “kemauan politik”
dan kebijakan pemerintah yang berpihak sepenuhnya kepada pendidikan
dalam hal ini sekolah dan guru, agar mereka benar-benar mampu
memanfaatkan kemajuan teknologi untuk kepentingan pembelajaran. Layanan
internet murah jangan hanya sebatas slogan dan retorika. Jika perlu,
sediakan subsidi, karena pendidikan juga merupakan kebutuhan yang vital.
Jika layanan internet murah, bahkan gratis bisa direalisasikan oleh
pemerintah, percaya atau tidak, keluhan tentang mahalnya pendidikan
sebagaimana yang selama ini kerap dilontarkan oleh masyarakat, tidak
akan lagi terdengar. (*)
Penulis: Agus Kurniawan (Redaktur pelaksana: situstalenta.com)