Minggu, 30 September 2012

Sejarah Cermin dan Cara Kerjanya


Sejak sekitar 8.000 tahun yang lalu manusia telah mengenal dan memanfaatkan cermin. Pada kurun waktu itu, manusia memanfaatkan kepingan batu yang mengkilap seperti batu obsidian untuk dijadikan cermin. Salah satu bukti kuat adalah dengan ditemukannya cermin obsidian di daerah Anatolia, Turki, yang diperkirakan dibuat sekitar tahun 6.000 SM. Penemuan cermin dari batu mengkilap lainnya juga didapatkan di Amerika Tengah dan Selatan yang diperkirakan dibuat sekitar tahun 2.000 SM.


Teknologi untuk membuat cermin kemudian berkembang dengan ditemukannya cermin yang terbuat dari tembaga yang mengkilap yang dibuat di Mesopotamia pada 4000 SM dan di Mesir pada tahun 3000 SM. Di China, ditemukan cermin yang terbuat dari perunggu yang diperkirakan dibuat pada tahun 2000 SM.


Cermin kaca berlapis logam diciptakan di Sidon, Lebanon pada abad pertama Masehi. Cermin kaca dengan sandaran dari daun emas juga disebutkan oleh seorang pengarang dari Romawi bernama Pliny dalam buku Natural History miliknya, yang dikarang sekitar tahun 77 M. Orang Romawi juga mengembangkan teknik menciptakan cermin yang kasar dari kaca hembus yang dilapisi dengan timah yang dilelehkan.

Cermin berbentuk parabola seperti cermin cembung dan cermin cekung pertama kali dideskripsikan oleh fisikawan dari Arab bernama Ibnu Sahl pada abad 10 M. Ibnu al-Haytham mendiskusikan cermin cembung dan cekung dalam geometri bola dan tabung, melakukan beberapa percobaan dengan cermin, dan menyelesaikan permasalahan menemukan titik di sebuah cermin cembung dimana sinar yang datang dari satu titik dipantulkan ke titik yang lain. Dan pada abad 11, cermin kaca yang jernih telah diproduksi di Al-Andalus.

Pada awal Abad Renaisans, orang Eropa menyempurnakan metode melapisi kaca yang telah ditemukan sebelumnya dengan menggunakan campuran timah dan raksa. Baik tanggal serta lokasi penemuan itu masih belum diketahui, tapi diperkirakan pada abad ke-16, di Venesia, sebuah kota yang terkenal dengan keahilan membuat kaca, menjadi pusat produksi cermin dengan mempergunakan teknik ini. Cermin kaca dari periode ini dulunya merupakan barang mewah yang amat mahal dan hanya digunakan oleh orang-orang kaya dan kaum bangsawan.


Justus Liebig menemukan cermin kaca pantul seperti yang banyak digunakan sekarang pada tahun 1835. Prosesnya melibatkan pengendapan lapisan perak metalik ke kaca melalui reduksi kimia perak nitrat. Proses melapisi kaca dengan substansi bersifat reflektif (silvering) ini diadaptasi untuk memproduksi cermin secara massal. Saat ini, cermin sering diproduksi dengan mengendapkan aluminium (atau kadang-kadang perak) langsung ke substrat kaca.

Cara Kerja Cermin

Kebanyakan cermin modern terdiri dari lapisan tipis aluminium yang dibalut dengan kepingan kaca. Cermin ini disebut "sepuh belakang" (back silvered), di mana permukaan memantul dilihat melalui kepingan kaca. Pelapisan cermin dengan kaca membuat cermin tahan, tetapi mengurangi kualitas cermin karena tambahan biasan permukaan depan kaca. Cermin seperti ini membalikkan sekitar 80% dari cahaya yang datang. Bagian belakang cermin sering dicat hitam sepenuhnya untuk melindung logam dari pengikisan.

Sementara teleskop dan peralatan optik yang lain, menggunakan cermin "sepuh depan" (front silvered), dimana permukaan pemantul diletakkan di permukaan kaca, yang memberikan kualitas bayangan lebih baik. Kadang-kadang juga digunakanperak, tetapi kebanyakan cermin ini menggunakan aluminum, yang memantulkan gelombang pendek lebih baik dari perak. Cermin sepuh depan memantulkan 90% hingga 95% dari cahaya datang. Karena logam berkarat dengan adanya oksigen dan kelembapan, cermin sepuh depan perlu diganti permukaannya secara berulang untuk mempertahankan kualitas. Cara lain adalah, tentunya, menggunakan tempat vakum untuk menaruh cermin ini.

Lihat Selengkapnya »»  

Arti Warna Sayur Mayur dan Buah-Buahan


Sayur mayur dan buah-buahan merupakan sumber makanan yang kaya akan kandungan gizi, vitamin dan mineral yang sangat bermanfaat kesehatan tubuh. Buah dan sayuran memiliki berbagai macam aneka warna yang berbeda-beda. Dan tahukah anda bahwa ternyata warna pada buah dan sayuran ini memiliki arti. Warna-warna tersebut menunjukkan kandungan fitonutrien yang terkandung di dalamnya.


Fitonutrien atau kadang disebut fitokimia, dalam arti luas adalah segala jenis zat kimia atau nutrien yang diturunkan dari sumber tumbuhan, termasuk sayuran dan buah-buahan. Dalam penggunaan umum, fitokimia memiliki definisi yang lebih sempit. Fitokimia biasanya digunakan untuk merujuk pada senyawa yang ditemukan pada tumbuhan yang tidak dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh, tapi memiliki efek yang menguntungkan bagi kesehatan atau memiliki peran aktif bagi pencegahan penyakit.

Fungsi fitonutrien bagi tumbuhan adalah menjaganya dari lingkungan sekitar, seperti pemangsa, virus, bakteri dan jamur. Sedangkan fungsi fitonutrien bagi manusia antara lain yaitu untuk menjaga kesehatan jantung, sirkulasi darah, membantu pertumbuhan sel dan fungsi organ tubuh, serta antioksidan yang dapat melindungi tubuh dari radikal bebas.

Fitonutrien yang terkandung pada buah dan sayuran masing-masing berbeda-beda satu sama lain. Jenis-jenis fitonutrien antara lain Lycopene, Beta-Carotene, Anthocyanidins, Resveratol, Striknin, Skopolamin, Skopoletin, Skoparon, Allicin, dan Lutein. Untuk mendapat semua manfaatnya, disarankan anda untuk mengkonsumsi aneka buah dan sayuran ini dengan berbagai ragamnya setiap hari. Berikut kandungan fitonutrien pada warna buah dan sayur serta manfaatnya bagi kesehatan kita.

Merah


Warna merah pada buah-buahan berarti dalam buah tersebut terdapat kandungan Antosianin dan Lycopene di dalamnya. Antosianin berguna untuk mencegah infeksi dan kanker kandung kemih, sedangkan Lycopene menghambat fungsi kemunduran fisik dan mental agar kita tidak mudah pikun. Selain itu, Lycopene juga mencegah bermacam-macam penyakit kanker. Lycopene juga dikenal sebagai Antioksidan tinggi untuk melindungi tubuh dari serangan virus, infeksi serta dapat mencegah penuaan dini dengan cara melindungi lapisan kolagen yang sangat baik untuk kesehatan kulit dalam tubuh kita.

Sementara sayuran yang berwarna merah seperti terung, kol merah, dan bayam merah. Pigmen pada sayuran jenis ini mengandung flavonoid yang berfungsi sebagai antikanker. Selain itu, kol merah jika disantap mentah ternyata mengandung senyawa fitokimia dan vitamin C dua kali lipat daripada kol putih.

Jingga dan Kuning


Buah dan sayur yang berwarna jingga atau kuning mengandung Beta-Carotene sebagai antioksidan yang bisa mencegah penyakit jantung, kanker kulit dan penuaan dini serta sebagai sumber vitamin C yang membantu tubuh menyerap zat besi untuk mencegah anemia dan rasa letih yang berlebih. Selain itu, sebagian Beta-Carotene yang ada di dalam tubuh berubah menjadi vitamin A yang akan memacu sistem kekebalan tubuh, membuat tubuh tidak mudah terserang penyakit.

Ungu, Biru dan Hitam


Mengandung Anthocyanidins Resveratol, Striknin, Skopolamin, Skopoletin dan Skoparon yang merupakan senyawa aktif yang dapat menghambat serangan gugup atau kekejangan saraf. Selain Oksidan yang tinggi sayur dan buah warna ungu-biru hitam ini baik untuk memperlancar peredaran darah.

Hijau
Sayur berwarna hijau merupakan sumber kaya Beta-Carotene (provitamin A). Semakin tua warna hijaunya, maka semakin banyak kandungan Beta-Carotenenya. Kandungan Beta-Carotene pada sayuran membantu memperlambat proses penuaan dini mencegah resiko penyakit kanker, meningkatkan fungsi paru-paru dan menurunkan komplikasi yang berkaitan dengan diabetes.

Selain itu, sayur mayur dan buah-buahan berwarna hijau juga mengandung Lutein, Vitamin dan Mineral yang sangat baik untuk sistem imun atau kekebalan tubuh serta baik untuk mata juga kulit. Vitamin K dalam sayuran hijau juga membantu tubuh menyerap kalsium untuk menjaga kekuatan tulang, juga pertumbuhan kuku dan rambut yang sehat.

Putih


Mengandung Allicin untuk menjaga kesehatan tulang, kesehatan fungsi arteri dan kelancaran peredaran darah. Kandungan serat dan vitamin C dalam buah-buahan berwarna putih juga tinggi. Manfaat langsung serat itu membuat kita nyaman saat buang air besar.
Lihat Selengkapnya »»  

Kenapa Simbol Kedokteran Berupa Ular dan Tongkat?


Jika anda memperhatikan lambang dan simbol yang ada pada logo organisasi yang berhubungan dengan bidang medis, anda akan menemukan gambaran dari seekor ular yang melilit di sebuah tongkat. Bahkan perusahaan farmasi dan rumah sakit juga sering menggunakan simbol yang sama. Padahal, gigitan ular umumnya akan berakibat buruk bagi kesehatan, sehingga hewan tersebut mungkin tampak tidak cocok jika digunakan sebagai simbol dari profesi medis. Ternyata, ada cerita tersendiri di balik mengapa lambang ini dijadikan sebagai lambang profesi medis.

Logo Asclepius IDI

Dalam perkembangannya, ada dua versi dari simbol ular dan tongkat ini. Versi pertama adalah gambar dimana seekor ular melilit di sebatang tongkat, yang disebut sebagai "Rod of Asclepius" atau "tongkat Asclepius". Sedangkan versi kedua menggambarkan dua ekor ular yang saling melilit pada sebuah tongkat dengan sepasang sayap di bagian atas tongkat yang disebut Caduceus atau "Staff of Hermes" atau "tongkat Hermes".

Tongkat Asclepius

Asclepius, menurut mitologi Yunani adalah seorang manusia setengah dewa, putra dari dewa penyembuhan, Apollo dengan seorang ratu manusia bernama Coronis. Asclepius menguasai aspek penyembuhan dari seni pengobatan. Diceritakan bahwa ia mampu memulihkan kesehatan orang yang sakit dan bahkan dikisahkan ia juga dapat menghidupkan kembali orang yang telah mati.

Asclepius kemudian mendirikan semacam kuil untuk pengobatan yang disebut Asclepions (Asclepieia). Orang-orang pun kesana untuk berobat kepada Asclepius. Di kuil ini terdapat banyak sekali ular yang dipelihara sebagai penghormatan bagi dewa penyembuhan. Karena, ular memiliki kemampuan untuk berganti kulit, yang dipandang sebagai simbol kelahiran kembali dan pembaharuan. Selain itu, bisa ular selain dapat menjadi racun yang mematikan juga dianggap dapat menjadi obat yang mujarab.

Dalam satu kisah, Zeus membunuh Asclepius dengan petirnya karena mengganggu tatanan alam dunia dengan menghidupkan kembali orang mati. Sementara versi yang lain menyatakan bahwa Zeus membunuhnya sebagai hukuman karena ia menerima bayaran untuk melakukan kebangkitan orang mati. Setelah dia meninggal, Zeus menempatkan Asclepius di antara bintang-bintang sebagai konstelasi Ophiuchus, atau "pembawa ular". Orang-orang Yunani pun lalu menganggap ular sebagai hewan yang sakral dan menggunakannya dalam ritual penyembuhan untuk menghormati Asclepius.

Tongkat Asclepius dan Tongkat Hermes

Tongkat Hermes

Berbeda dengan tongkat Asclepius, tongkat Hermes dililiti oleh dua ekor ular dan memiliki sepasang sayap di ujungnya. Hermes sendiri sebenarnya tidak pernah secara spesifik dikaitkan dengan ilmu kedokteran. Dalam mitologi Yunani, Hermes adalah dewa pembawa pesan antara dewa dan manusia dan pemandu manusia yang telah meninggal menuju ke dunia bawah. Hermes juga merupakan pelindung dari para pengembara, yang sedikit berhubungan dengan pengobatan, karena pada masa lalu, dokter harus melakukan perjalanan dengan jarak yang sangat jauh dengan berjalan kaki dalam rangka mengunjungi pasien mereka.

Dalam salah kisah mitologi Hermes, ia diberikan tongkat oleh Apollo, sang dewa penyembuhan. Dan dalam versi lain, ia menerima tongkat dari Zeus, raja para dewa, dimana tongkatnya awalnya dililiti denga dua buah pita putih. Pita tersebut kemudian digantikan oleh ular, karena diceritakan bahwa Hermes menggunakan tongkatnya tersebut untuk memisahkan dua ular yang sedang berkelahi, yang kemudian melilit di tongkatnya dan tinggal di sana dalam harmoni yang seimbang.

Lambang kedokteran dengan simbol tongkat Hermes pertama kali digunakan pada tahun 1902 oleh korps kesehatan militer AS. Sejak saat itu ada anggapan bahwa tongkat Hermes sama dengan tongkat Asclepius dan sering digunakan secara rancu sebagai lambang kesehatan. Belakangan kerancuan ini dikaji kembali dan diputuskan bahwa lambang kedokteran yang benar adalah tongkat Asclepius, dan bukannya tongkat Hermes. Namun pada kenyataanya masih banyak organisasi kesehatan yang menggunakan tongkat Hermes sebagai simbolnya. Sedangkan di Indonesia sendiri, berbagai organisasi kesehatan yang ada pada umumnya menggunakan tongkat Asclepius sebagai bagian dari lambangnya. Seperti yang terdapat pada lambang ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Lihat Selengkapnya »»  

Kenapa Kepiting Berwarna Merah Setelah Dimasak?


Sering kita lihat, ekso-skeleton krustasea seperti kepiting, udang dan lobster akan berubah warna menjadi merah setelah dimasak. Padahal, sebelum dimasak mereka berwarna selain merah. Namun setelah melalui proses pemanasan, seperti ketika dimasak atau dipanggang tiba-tiba saja warna cangkang mereka akan berubah warna menjadi merah dengan sendirinya. Dan berikut Alasan Kenapa Kepiting Berwarna Merah Setelah Dimasak.


Hewan-hewan ini ketika hidup memiliki berbagai warna, antara lain biru, biru kehijauan, hijau, kuning, abu-abu, cokelat atau zaytun. Namun perlu anda ketahui, tidak semua kepiting, udang, dan lobster akan berubah menjadi merah ketika dimasak. Selain itu, perubahan warna tersebut bukan lah merupakan petunjuk bahwa kepiting, udang, dan lobster telah matang atau belum.

Perubahan warna pada hewan-hewan tersebut sangat mirip dengan perubahan warna pada daun-daun yang berguguran, dimana daun yang gugur akan berwarna oranye atau kuning. Warna tersebut sudah ada dalam daun tersebut namun tertutup oleh pigmen klorofil yang berwarna hijau. Ketika pigmen klorofil rusak di musim gugur, maka warna-warna lain di bawahnya pun menjadi muncul dan terlihat.

Demikian pula pada kepiting, udang, dan lobster. Mereka memiliki beberapa pigmen warna yang berbeda-beda dalam cangkang mereka. Salah satu pigmen berwarna tersebut adalah astaxanthin, pigmen ini akan menghasilkan warna merah. Tetapi pigmen warna ini akan dibungkus dalam rantai protein yang berwarna gelap sehingga cangkang terlihat berwarna gelap.

Pada suhu normal dan ketika hidup, pigmen astaxanthin akan tetap tersembunyi karena mereka ditutupi dengan rantai protein lain yang memberikan cangkang mereka berwarna seperti yang kita lihat. Namun ketika kepiting, udang, dan lobster tersebut dimasak atau dipanggang, rantai protein tersebut akan rusak atau mengalami denaturasi sehingga pigmen merah dalam kerang di bawahnya menjadi terlihat dengan jelas.

Paparan panas ini menghancurkan lapisan protein, sedangkan astaxanthin masih tetap stabil. Jadi, ketika Anda memasak kepiting, udang, dan lobster, paparan panas akan merusak semua pigmen kecuali pigmen astaxanthin, yang dengan demikian akan menyebabkan warna merah terang yang kita lihat dalam kepiting, udang, dan lobster yang dimasak.


Terdapat beberapa kasus dimana setelah dimasak kepiting, udang, dan lobster tidak akan berubah warna. Kasus ini hanya terjadi pada kepiting, udang, dan lobster albino. Bagaimana pun cara anda memasaknya, mereka tidak akan berubah warna menjadi merah saat dimasak. Hal ini disebabkan karena mereka sama sekali tidak memiliki pigmen warna dalam cangkang mereka dan karena itu warna mereka akan sama baik sebelum dan setelah dimasak, yakni putih.
Lihat Selengkapnya »»  

Kenapa Tikus Digunakan Sebagai Hewan Percobaan?



Para peneliti, terutama dalam percobaan yang berkaitan dengan medis, hampir selalu menggunakan tikus sebagai hewan percobaannya. Bahkan, 95 persen dari semua hewan percobaan adalah tikus. Dari merancang suatu obat baru untuk melawan penyakit kanker sampai melakukan pengujian terhadap berbagai jenis suplemen makanan, para peneliti menggantungkan harapannya pada tikus yang telah memainkan peran penting dalam mengembangkan ilmu medis sampai seperti sekarang ini.



Para ilmuwan dan peneliti sangat bergantung pada tikus dalam percobaannya karena beberapa alasan. Salah satunya adalah kenyamanan, karena, tikus adalah binatang yang kecil sehingga mudah disimpan dan dipelihara, dan dapat beradaptasi dengan baik dengan lingkungan baru. Mereka juga berkembang biak dengan cepat dan memiliki umur pendek antara dua sampai tiga tahun, sehingga beberapa generasi tikus dapat diamati dalam waktu yang relatif singkat.

Harga tikus juga relatif murah dan dapat dibeli dalam jumlah besar dari peternakan yang mengembangbiakkan tikus khusus untuk penelitian. Tikus-tikus pada umumnya juga memiliki temperamen sedang dan cenderung patuh, sehingga membuat para peneliti mudah menanganinya.

Selain itu, sebagian besar tikus yang digunakan dalam percobaan medis adalah hasil perkawinan dari tikus yang memiliki hubungan keluarga yang dekat, sehingga selain perbedaan jenis kelamin, mereka hampir identik secara genetik. Hal ini dapat membantu membuat hasil percobaan medis lebih seragam.

Alasan lain tikus digunakan sebagai subjek percobaan dalam pengujian medis adalah karena karakteristik genetik, biologi dan perilaku mereka sangat mirip dengan manusia, dan banyak gejala suatu penyakit pada kondisi manusia dapat direplikasi pada tikus.

Selama dua dekade terakhir, kesamaan-kesamaan tersebut telah menjadi lebih kuat. Para ilmuwan sekarang dapat mengembang biakkan tikus dan mengubah genetiknya yang disebut "tikus transgenik", yang membawa gen yang mirip dengan yang menyebabkan penyakit pada manusia. Selain itu, gen tersebut dapat dimatikan atau dibuat tidak aktif, yang dapat digunakan untuk mengevaluasi efek dari bahan kimia penyebab kanker (karsinogen) dan menilai keamanan obat.

Tikus juga dapat membuat penelitian lebih efisien karena anatomi, fisiologi dan genetika mereka telah dipahami dengan baik oleh para peneliti, sehingga lebih mudah mengetahui apa yang menyebabkan perubahan dalam perilaku atau karakteristik tikus.

Beberapa tikus, yang disebut tikus SCID (severe combined immune deficiency), secara alami terlahir tanpa sistem kekebalan tubuh dan karenanya dapat berfungsi sebagai model untuk dalam penelitian jaringan normal dan jaringan ganas pada manusia. Tikus juga digunakan dalam penelitian perilaku, sensorik, gizi, penuaan dan genetika, serta pengujian obat anti-kecanduan yang bisa berpotensi mengakhiri kecanduan narkoba.

Beberapa contoh gangguan dan penyakit manusia dimana tikus digunakan sebagai model percobaan meliputi:
  • Hipertensi
  • Diabetes
  • Katarak
  • Obesitas
  • Kejang
  • Masalah Pernapasan
  • Ketulian
  • Penyakit Parkinson
  • Penyakit Alzheimer
  • Kanker
  • Cystic fibrosis
  • HIV dan AIDS
  • Penyakit jantung
  • Muscular dystrophy
  • Cedera tulang spinal
sumber
Lihat Selengkapnya »»  

Kenapa Kaca Bening dan Transparan?



Di hampir setiap rumah yang dibangun, kita dapat menemukan jendela. Dan jendela yang umum kita jumpai adalah jendela berupa kaca yang dikelilingi oleh bingkai kayu. Jendela kaca ini dapat membuat rumah menjadi lebih terang, hangat dan ramah karena memungkinkan cahaya untuk masuk. Tapi mengapa kaca pada jendela bisa lebih transparan daripada dinding dari semen dan beton yang mengelilinginya? Padahal mereka sama-sama zat padat, dan sama-sama dapat melindungi kita dari hujan dan angin. Namun, mengapa dinding tidak dapat dilalui oleh cahaya sedangkan kaca bening dan transparan sehingga memungkinkan sinar matahari masuk tanpa hambatan?
tetesan air di kaca

Kaca adalah jenis khusus dari zat padat yang dikenal sebagai zat padat amorf. Yaitu keadaan suatu materi dimana atom dan molekul terkunci pada tempatnya, tapi tidak tersusun dengan rapi sebagai kristal yang teratur, melainkan tersusun secara acak. Akibatnya, kaca secara mekanis kaku seperti zat padat, namun memiliki susunan molekul yang tidak teratur seperti zat cair. Zat padat amorf ini dapat terbentuk ketika suatu zat padat dicairkan pada suhu yang tinggi dan kemudian didinginkan dengan cepat.

Kaca memiliki banyak keunggulan dibanding material lainnya, seperti sifatnya yang dapat menghambat listrik, tahan terhadap panas yang tinggi dan tidak mudah bereaksi secara kimia. Namun, kaca oksida, seperti kaca komersial yang anda temukan pada kaca jendela atau gelas, piring, mangkuk dan bola lampu, memiliki sifat lain yang lebih penting yaitu transparan terhadap berbagai panjang gelombang yang dikenal sebagai cahaya tampak. Untuk memahami mengapa kaca dapat menjadi terlihat bening dan transparan, kita harus melihat lebih dekat pada struktur atom dari kaca dan memahami apa yang terjadi ketika foton, yaitu partikel terkecil cahaya, berinteraksi dengan struktur atom kaca.

Pertama, seperti kita ketahui bahwa elektron mengelilingi inti dari sebuah atom, dan menempati tingkat energi yang berbeda. Untuk pindah dari tingkat energi yang rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi, elektron harus mendapatkan energi. Sebaliknya, untuk pindah dari tingkat energi yang lebih tinggi ke tingkat energi yang lebih rendah, elektron harus melepaskan energi.

Ketika foton bergerak mengenai dan berinteraksi dengan zat padat. akan terjadi salah satu dari tiga hal berikut:
  • Zat padat menyerap foton. Hal ini terjadi ketika foton melepaskan energinya pada sebuah elektron yang terletak dalam zat padat. Berbekal tenaga ekstra ini, elektron dapat pindah ke tingkat energi yang lebih tinggi, sedangkan foton akan menghilang.
  • Zat padat memantulkan foton. Untuk melakukan hal ini, foton melepaskan energinya juga, tetapi kemudian foton dengan energi yang identik akan dipancarkan kembali.
  • Zat padat memungkinkan foton untuk melewatinya tanpa berubah. Dikenal juga sebagai transmisi, hal ini terjadi karena foton tidak berinteraksi dengan elektron apapun dan meneruskan perjalanannya sampai berinteraksi dengan obyek lain.

Kaca, masuk ke dalam kategori terakhir. Kebanyakan foton melewati kaca karena foton tidak memiliki energi yang cukup untuk merangsang elektron kaca ke tingkat energi yang lebih tinggi. Foton dari cahaya yang tampak, yaitu cahaya dengan panjang gelombang 400 sampai 700 nanometer, yang tampak dengan warna ungu, nila, biru, hijau, kuning, jingga dan merah, tidak mempunyai energi yang cukup untuk menyebabkan perpindahan elektron ini. Akibatnya, foton dari cahaya tampak ini melalui kaca dan tidak diserap atau dipantulkan, membuat kaca terlihat bening dan transparan.

Pada panjang gelombang yang lebih kecil dari cahaya tampak, foton mulai memiliki energi yang cukup untuk memindahkan elektron kaca dari satu tingkat energi ke tingkat energi yang lain. Misalnya, sinar ultraviolet, yang memiliki panjang gelombang berkisar antara 10 sampai 400 nanometer, tidak dapat melewati kaca oksida, seperti kaca di kaca jendela. Hal ini membuat jendela, menjadi tidak dapat ditembus oleh sinar ultraviolet seperti dinding yang tidak dapat ditembus oleh cahaya tampak.
Lihat Selengkapnya »»