Kamis, 09 Agustus 2012

Fiqh Sahur dan Ifthor

Ramadhaan Mubaarak

Kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah, website tercinta kita ini insya Allah akan menurunkan kajian Kitab Bulughul Maram yang berkenaan dengan bab Shaum Ramadhan secara berkala. Semoga bermanfaat untuk mencerahkan pengetahuan umat Islam.
Kaidah pelaksanaan ibadah dalam ajaran agama Islam adalah “al-ittiba’ la al-ibtida’ yaitu mengikuti apa yang diperintahkan dan dilaksanakan Nabi, bukan berkreasi atau membuat-buat sendiri.”
Berikut uraikan fiqh sahur dan ifthor sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad saw.
وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا, أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ  قَالَ: لاَ يَزَالُ اَلنَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا اَلْفِطْرَ  (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
 Dari Sahal bin Sa’ad radhiallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Masih ada kebaikan pada orang-orang selama mereka menyegerakan berbuka.” (Muttafaq alaih)
وَلِلتِّرْمِذِيِّ: مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ  عَنِ اَلنَّبِيِّ  قَالَ: قَالَ اَللَّهُ : أَحَبُّ عِبَادِي إِلَيَّ أَعْجَلُهُمْ فِطْرًا
 Dalam riwayat Tirmizi, dari hadits Abu Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Hamba yang paling Aku cintai adalah mereka yang paling cepat berbuka.”
- وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ  قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ : تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي اَلسَّحُورِ بَرَكَةً  (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
 Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda, “Hendaknya kalian makan sahur, sesungguhnya pada makanan sahur terdapat barokah.” (Muttafaq alaih)
وَعَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ اَلضَّبِّيِّ  عَنِ اَلنَّبِيِّ  قَالَ: إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ, فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ, فَإِنَّهُ طَهُورٌ  (رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ)
Dari Salman bin Amir Adh-Dhabby, dari Nabi, beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian berbuka puasa, hendaklah dia berbuka dengan korma, jika tidak, hendaklah dia berbuka dengan air. Karena air itu mensucikan.” (Riwayat perawi yang lima, dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban serta Al-Hakim)

Pemahaman Hadits dan Kesimpulan Hukum

-       Hadits 658 dan 659 menunjukkan disunahkan segera berbuka apabila telah jelas datang waktu Maghrib atau matahari telah terbenam.
-       Hadits 660 meskipun redaksinya adalah bersifat perintah untuk makan sahur, namun jumhur ulama menyimpulkan bahwa makan sahur merupakan sunah puasa, dan bahwa di dalamnya terdapat barokah.
-       Makan sahur, jika dikaitkan dengan kata-kata sahar yang berarti akhir malam, menunjukkan bahwa yang disunahkan dalam makan sahur adalah mengakhirkannya. Hal ini dikuatkan oleh beberapa hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menganjurkan untuk segera berbuka dan mengakhirkan sahur.
-       Makan sahur dikatakan barokah karena di dalamnya terdapat beberapa kebaikan; Padanya terdapat pelaksanaan sunah Nabi. Pembeda antara puasa orang-orang Islam dengan Ahlul Kitab. Waktu sahur termasuk sepertiga malam terakhir, waktu yang dianjurkan beristighfar dan waktu yang mustajabah saat Allah Ta’ala turun ke langit dunia dan memenuhi keinginan hamba-Nya yang meminta kepada-Nya.
-       Menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur kembali menunjukkan bahwa waktu puasa Ramadan hendaknya jelas awal dan akhirnya.
-       Hadits 661 menunjukkan tentang makanan yang disunahkan untuk dimakan pertama kali saat berbuka. Berdasarkan hadits di atas, yang pertama dimakan adalah korma. Jika tidak ada, maka berbuka dengan air putih. Dalam riwayat Abu Daud dan Tirmizi diriwayatkan bahwa yang pertama kali beliau makan adalah ruthab (korma setengah matang), jika tidak ada ruthab, memakan korma, jika tidak ada korma, maka meminum beberapa teguk air putih.
-          Sedikit agak berbeda dengan apa yang sering diungkapkan, bahwa kalau tidak ada korma maka berbuka dengan sesuatu yang manis. Jika merujuk hadits ini adalah bahwa jika tidak ada korma, maka hendaknya berbuka dengan air putih. Wallahua’lam.
-       Air putih dikatakan mensucikan dalam hadits ini maksudnya adalah membersihkan lambung dan pencernaan.
Beberapa Hukum dan Ketentuan Terkait Berbuka
-       Menyegarakan berbuka, selain merupakan bentuk bersegara dalam kebaikan yang Allah tawarkan, dia juga merupakan sikap untuk berbeda dengan orang Yahudi dan Nashrani yang menunda waktu berbuka mereka. Begitu pula makan, sahur, selain bahwa di dalamnya terdapat barokah, juga dengan melakukan makan sahur, akan menjadi pembeda puasa kita dengan puasa ahli kitab. Sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
-       Jika masih ragu, apakah waktu maghrib sudah masuk atau belum, tidak dibolehkan berbuka. Apalagi jika diyakini bahwa matahari belum tenggelam. Karena hukum asalnya adalah siang, jika terbenamnya matahari masih diragukan, maka yang dianggap adalah hari masih siang. Akan tetapi, jika diduga kemungkinan besar matahari telah tenggelam, dibolehkan berbuka.
-       Jika seseorang berbuka puasa dengan keyakinan matahari telah tenggelam. Namun terbukti kemudian bahwa matahari masih tampak. Maka berdasarkan pendapat jumhur ulama, dia harus melanjutkan puasa hingga Maghrib tapi harus mengqadha puasa hari itu.
-       Perlu diperhatikan pula sunah berbuka lainnya, yaitu berdoa, baik dengan doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, atau dengan doa-doa kebaikan yang diinginkan. Karena saat itu termasuk waktu yang mustajabah. Disunahkan pula memberi makan orang berbuka. Dapat dilakukan dengan memberi sumbangan berbuka, atau memasak sendiri dan mengundang orang untuk berbuka puasa.
-       Jika seseorang naik pesawat di siang hari dalam keadaan puasa, maka jika dia ingin meneruskan puasanya, berbukanya ditentukan dengan tenggelamnya matahari saat dia di pesawat, bukan berdasarkan waktu di negaranya atau di tempat tujuannya. Walaupun konsekwensinya bisa lebih cepat atau lebih lama dari waktu yang biasa dia lakukan di darat.
Beberapa Hukum Dan Ketentuan Terkait Makan Sahur
-       Jika ketika berbuka, sunahnya adalah disegerakan, maka sahur sunahnya adalah diakhirkan. Hanya saja, jika diyakini telah masuk waktu fajar, harus langsung dihentikan.
-       Berbeda dengan berbuka, dalam sahur jika masih ragu apakah sudah terbit fajar atau belum, maka masih dibolehkan makan sahur. Karena asalnya adalah tetapnya malam. Jika terbitnya fajar masih diragukan, maka yang dianggap bahwa hari masih malam. Bahkan jika seseorang bangun dari tidur, lalu dia menganggap hari masih gelap dan fajar belum terbit, kemudian dia meminum segelas air, lalu terbukti bahwa ternyata waktu Shubuh sudah masuk, maka puasanya tetap sah.
-       Tetap menyantap makanan saat azan berkumandang, sedangkan azan tersebut diyakini dikumandangkan setelah waktu fajar telah masuk, merupakan kekeliruan. Pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang dibolehkan untuk terus makan saat azan adalah apabila  azannya Bilal. Karena Bilal, kebiasaannya azan beberapa lama sebelum terbit fajar, yaitu sebagai azan pertama untuk menunjukkan bahwa terbitnya fajar telah dekat. Adapun apabila mendengar azan Abdullah bin Ummi Maktum, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang kaum muslimin (yang hendak berpuasa) untuk meneruskan makannya, sebab Abdullah bin Umi Maktum seorang buta, dia tidak mengumandangkan azan sebelum ada orang yang memberitahu bahwa waktu fajar sudah masuk.
Aisyah radhiallahu anha berkata,
أَنَّ بِلاًلاً كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan azan di waktu malam (sebelum terbit fajar). Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan, karena dia tidak azan kecuali setelah terbit fajar.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa tujuan azan Bilal adalah agar yang qiyamullail segera menghentikan shalatnya untuk istirahat atau makan sahur jika dia hendak puasa, serta yang masih tidur agar segera bangun.
-       Kalaupun ada yang dibolehkan berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, adalah apabila gelas telah diangkat ke mulut dan siap diminum, kemudian azan berkumandang, maka ketika itu dia boleh meneruskan minumnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ  (رواه الحاكم أبو داود وصححه الحاكم ووافقه الذهبي وصححه الألباني في صحيح سنن أبي داود)
“Jika salah seorang dari kalian mendengar seruan (azan) sedangkan wadahnya telah ada di tangannya, maka jangan letakkan kembali (wadah tersebut) sebelum dia memenuhi keinginannya (memakan atau meminum yang ada di wadah tersebut).” (HR. Hakim dan Abu Daud. Hakim menyatakan hadits ini shahih dan disetujui oleh Az-Zahaby. Al-Albany juga menyatakannya shahih dalam Shahih Sunan Abu Daud)
-       Yang paling baik adalah seseorang mengakhirkan sahurnya di penghujung malam sebelum terbit fajar, namun 10 atau 15 menit sebelum terbit fajar hendaknya dia sudah selesai makan dan minum, agar terhindar dari keraguan dan memulai ibadah puasa dengan keyakinan. Di samping itu dirinya memiliki waktu untuk segera bersiap-siap melaksanakan shalat Shubuh.
Hal ini bersandar pada riwayat Anas bin Malik; Zaid bin Tsabit memberitahunya bahwa dia pernah sahur bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu (setelah itu) mereka menunaikan shalat (Fajar). Ketika dia ditanya tentang berapa lama masa antara (selesai) sahur dengan azan? Beliau berkata, “Seukuran membaca 50 ayat.” (HR. Bukhari)
-       Jadi, ada dua sikap berlebihan dalam masalah sahur pada sebagian masyarakat. Sebagian mempercepatnya di tengah malam jauh sebelum terbit fajar. Sementara sebagian lagi tetap makan dan minum meskipun azan yang diyakini sebagai pertanda terbit fajar telah berkumandang. Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan berdasarkan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Disimpulkan pula dari hadits di atas bahwa dalam sahur pun dianjurkan untuk makan bersama sebagaimana Zaid bin Tsabit makan sahur bersama Rasulullah shallallahu alaihi  wa sallam.
-       Ada satu perkara yang  sering dibicarakan dalam masalah sahur ini. Yaitu ketetapan imsak yang sering dijadikan acuan sebagian masyarakat. Biasanya ditetapkan 10 menit sebelum masuknya waktu Shubuh (terbit fajar).
Kalau permasalahannya kembali kepada sikap dalam point sebelumnya, yaitu sebagai bentuk kehati-hatian agar beberapa saat sebelum azan fajar sudah selesai dari aktifitas makan dan minum, dan bahwa setelah itu masih memungkinkan bagi seseorang untuk makan dan minum selama belum diyakini telah masuk waktu fajar. Maka hal ini tidak mengapa insya Allah, bahkan itu lebih baik dibanding seseorang tetap makan ketika azan berkumandang. Permasalahan inilah yang perlu dipertegas kepada masyarakat dalam memahami dan mensikapi masalah imsak di bulan Ramadan.
Adapun jika ketetapan imsak tersebut dijadikan sebagai batas awal dimulainya puasa, yaitu bahwa  apabila telah masuk waktu imsak seseorang yang hendak berpuasa tidak lagi dibolehkan makan dan minum serta perkara yang membatalkan lainnya, maka hal tersebut jelas bertentangan dengan ketetapan syariat yang jelas-jelas menetapkan terbit fajar sebagai awal dari kewajiban menahan diri dalam berpuasa sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah: 187.
Maka di sini, ada dua permasalahan  yang perlu dibedakan dan diperjelas. Wallahua’lam. (aburumaisha)
Lihat Selengkapnya »»  

Niat Shaum

Ilustrasi (Ramadhan)


Kajian spesial bulan suci Ramadhan kedua kedua membahas niat berpuasa.
Hadits 656
وَعَنْ حَفْصَةَ أُمِّ اَلْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا, عَنِ اَلنَّبِيِّ  قَالَ:  مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ اَلصِّيَامَ قَبْلَ اَلْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ 
(رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَمَالَ النَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ إِلَى تَرْجِيحِ وَقْفِهِ, وَصَحَّحَهُ مَرْفُوعًا اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ.  وَلِلدَّارَقُطْنِيِّ: لاَ صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يَفْرِضْهُ مِنَ اَللَّيْلِ)
Dari Hafshah; Ummul Mukminin radhiallahu anha, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
“Siapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.”
(Diriwayatkan oleh perawi yang lima (Ahmad, Abu Daud, Tirmizi, Nasai dan Ibnu Majah). An-Nasai dan Tirmizi lebih condong menguatkan bahwa hadits ini mauquf. Sedangkan Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah setuju bahwa hadits ini marfu. Sedangkan redaksi dalam riwayat Ad-Daruquthni berbunyi, “Tidak ada puasa bagi yang tidak memantapkan niat di malam hari.”)
Catatan:
-       Hadits mauquf adalah hadits yang riwayatnya hanya sampai kepada shahabat, dalam riwayat di atas hanya sampai kepada Hafshah.
-       Hadits marfu’ adalah hadits yang riwayatkan bersambung terus hingga sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
-       Hadits ini dinyatakan shahih oleh beberapa pakar hadits, di antaranya oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami Ash-Shagir, no. 11480
 Hadits 657
 وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:  دَخَلَ عَلَيَّ اَلنَّبِيُّ ذَاتَ يَوْمٍ، فَقَالَ: “هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ? ” قُلْنَا: لاَ. قَالَ: فَإِنِّي إِذًا صَائِمٌ ، ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ, فَقُلْنَا: أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ, فَقَالَ: أَرِينِيهِ, فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا  فَأَكَلَ   (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Dari Aisyah radhiallahu anha, dia berkata,
“Nabi suatu saat mendatangi aku, lalu dia bertanya, ‘Apakah padamu ada sesuatu (makanan)?’ Kami katakan, ‘Tidak.’ Beliau berkata, ‘Kalau begitu aku berpuasa.’ Kemudian pada hari yang lain dia mendatangi kami lagi, maka kami katakan kepadanya, ‘Ada yang memberi kita hais (sejenis makanan).’ Maka beliau berkata, ‘Perlihatkan kepadaku, hari ini aku (sebenarnya) berpuasa.’ Lalu beliau memakannya.”  (HR. Muslim)
Pemahaman dan Kesimpulan Hukum
-       Para ulama berbeda pendapat tentang niat puasa. Sebagian memasukkan niat sebagai rukun puasa, sebagian lainnya menjadikan niat sebagai syarat puasa. Apapun kesimpulannya, orang yang hendak berpuasa diharuskan menyertakan niat berpuasa untuk beribadah karena Allah Ta’ala.
-       Dalam hadits Hafshah (656) disimpulkan bahwa bagi yang ingin berpuasa, diharuskan memantapkan niat di malam sebelum fajar. Waktunya sejak terbenam matahari hingga menjelang terbit fajar.  Para ulama umumnya mengatakan bahwa keharusan ini berlaku pada puasa Ramadan, juga termasuk puasa yang dianggap wajib, seperti puasa nazar, kafarat, dll.
-       Adapun terhadap puasa sunah, dibolehkan jika baru niat di pagi hari setelah fajar, jika dia belum melakukan sesuatu yang membatalkan puasa, berdasarkan dalil hadits Aisyah (657) yang disebutkan berikutnya.
-       Niat itu sendiri adalah berkehendak di dalam hati untuk melakukan sesuatu. Maka seseorang cukup dikatakan telah niat apabila di malam Ramadan dia sudah niat puasa keesokan harinya, atau jika dia makan sahur untuk puasa, maka itu pun sudah dianggap niat. Jika melihat kasusnya, sebenarnya sangat jarang didapatkan seorang muslim yang tinggal di negeri muslim yang tidak niat berpuasa di malam harinya.
-       Tidak ada redaksi khusus yang ditetapkan syariat untuk diucapkan sebagai niat berpuasa. Di sebagian masyarakat, selepas shalat taraweh, jamaah shalat membaca redaksi yang mereka anggap sebagai niat, seperti bacaan “nawaitu shauma ghodin….. “ Sebagian orang merasa dirinya belum niat kalau dia tidak membaca redaksi tersebut. Itu keliru. Sebagaimana telah dikatakan, dia sudah dianggap niat, jika besok dia sudah berencana berpuasa Ramadan, atau dia sahur untuk berpuasa.
-       Apakah cukup niat sekali untuk sebulan Ramadan ataukah niat harus dilakukan setiap malam? Jumhur ulama berpendapat bahwa niat harus dilakukan setiap malam. Sebab menurut mereka, puasa di bulan Ramadan masing-masing berdiri sendiri, kalau ada satu hari yang batal, maka hari-hari lainnya tidak dianggap batal. Adapun yang masyhur dalam mazhab Maliki, niat puasa dapat dilakukan pada malam pertama untuk sebulan, kecuali jika ada satu hari dia tidak berpuasa, maka dia harus berniat lagi untuk puasa hari berikutnya. Karena menurutnya, puasa di bulan Ramadan adalah satu kesatuan yang tak terpisah. Pendapat jumhur ulama lebih hati-hati. Wallahua’lam.
-       Terkait dengan hadits Aisyah (657) di dalamnya terdapat pelajaran tentang kesederhanaan rumah tangga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan bahwa beliau tidak memberatkan isterinya.
-  Berdasarkan hadits ini (657) para ulama menyimpulkan bahwa dalam puasa sunah, seseorang boleh niat di pagi hari selama belum melakukan sesuatu yang membatalkan puasa. Juga disimpulkan oleh para ulama bahwa dalam puasa sunah, seseorang boleh membatalkannya begitu saja. Apalagi jika ada alasan yang dipandang baik. Namun jika ada alasan mendesak, lebih baik diteruskan berpuasa, bahkan sebagian ulama mengharuskannya. Tetapi dalam puasa wajib, seorang yang telah niat berpuasa, tidak boleh membatalkannya begitu saja, kecuali jika ada uzur/alasan yang diterima syara’. Wallahua’lam. 

Lihat Selengkapnya »»  

Fiqh I’tikaf

I'tikaf Asyrul Awakhir

Dalam tinjauan bahasa Arab, al-i’tikaf bermakna al-ihtibas (tertahan) dan al-muqam(menetap)[1].
Sedangkan definisinya menurut para fuqaha adalah:
الْمُكْثُ فِي الْمَسْجِدِ بِنِيَّةِ القُرْبَةِ
Menetap di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.[2]
Atau:
لُزُومُ الْمَسْجِدِ لِطَاعَةِ اللهِ وَالاِنْقِطَاعِ لِعِبَادَتِهِ، وَالتَّفَرُّغِ مِنْ شَوَاغِلِ الْحَيَاةِ
Menetap di masjid untuk taat dan melaksanakan ibadah kepada Allah saja, serta meninggalkan berbagai kesibukan dunia.[3]
Hukum dan Dalil Disyariatkannya I’tikaf
Hukumnya sunnah, dan sunnah muakkadah di sepuluh hari terakhir Ramadhan.[4] I’tikaf menjadi wajib jika seseorang telah bernadzar untuk melakukannya.
Dalil-dalilnya:
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (Al-Baqarah (2): 125).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah ra ia berkata: Nabi Muhammad saw selalu i’tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Dan pada tahun wafatnya, beliau i’tikaf selama dua puluh hari. (HR. Bukhari).
قَوْلُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ [رواه البخاري ومسلم]
Aisyah ra berkata: Rasulullah saw melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan) sampai Allah mewafatkan beliau. Kemudian para istrinya melakukan i’tikaf sepeninggal beliau. (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf seorang istri harus seizin suaminya.
Tujuan dan Manfaat I’tikaf
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa tujuan disyariatkannya i’tikaf adalah agar hati terfokus kepada Allah saja, terputus dari berbagai kesibukan kepada selain-Nya, sehingga yang mendominasi hati hanyalah cinta kepada Allah, berdzikir kepada-Nya, semangat menggapai kemuliaan ukhrawi dan ketenangan hati sepenuhnya hanya bersama Allah swt. Tentunya tujuan ini akan lebih mudah dicapai ketika seorang hamba melakukannya dalam keadaan berpuasa, oleh karena itu i’tikaf sangat dianjurkan pada bulan Ramadhan khususnya di sepuluh hari terakhir.[5]
Adapun manfaat i’tikaf di antaranya adalah:
  1. Terbiasa melakukan shalat lima waktu berjamaah tepat waktu.
  2. Terlatih meninggalkan kesibukan dunia demi memenuhi panggilan Allah.
  3. Terlatih untuk meninggalkan kesenangan jasmani sehingga hati bertambah khusyu’ dalam beribadah kepada Allah swt.
  4. Terbiasa meluangkan waktu untuk berdoa, membaca Al-Quran, berdzikir, qiyamullail, dan ibadah lainnya dengan kualitas dan kuantitas yang baik.
  5. Terlatih meninggalkan hal-hal yang tidak berguna bagi penghambaannya kepada Allah swt.
  6. Memperbesar kemungkinan meraih lailatul qadar.
  7. Waktu i’tikaf adalah waktu yang tepat untuk melakukan muhasabah dan bertaubat kepada Allah swt.
Rukun I’tikaf
Rukun i’tikaf ada empat[6] :
  1. Mu’takif (orang yang beri’tikaf) ((المُعْتَكِفُ
  2. Niat (النِّيَّة)ُ
  3. Menetap (اللُّبْثُ). Tidak ada batasan minimal yang disebutkan oleh Al-Quran maupun Hadits tentang lamanya menetap di masjid. Namun untuk i’tikaf sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan waktu i’tikaf yang ideal dimulai pada saat maghrib malam ke-21 sampai maghrib malam takbiran.
  4. Tempat i’tikaf (المُعْتَكَفُ فِيهِ)
Syarat I’tikaf
  1. Syarat yang terkait dengan mu’takif : beragama Islam, berakal sehat, mampu membedakan perbuatan baik dan buruk (mumayyiz), suci dari hadats besar (tidak junub, haid, atau nifas).
  2. Syarat yang terkait dengan tempat i’tikaf : masjid yang dilakukan shalat Jumat dan shalat berjamaah lima waktu di dalamnya agar mu’takif tidak keluar dari tempat i’tikafnya untuk keperluan tersebut.
Yang Membatalkan I’tikaf

  1. Kehilangan salah satu syarat i’tikaf yang terkait dengan mu’takif.
  2. Berhubungan suami istri sebagaimana firman Allah swt:
    وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
    Janganlah kamu campuri mereka (istri-istrimu) itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. (Al-Baqarah (2): 187)
  3. Keluar dengan seluruh badan dari tempat i’tikaf, kecuali untuk memenuhi hajat (makan, minum, dan buang air jika tidak dapat dilakukan di lingkungan masjid).Mengeluarkan sebagian anggota badan dari tempat i’tikaf tidak membatalkan i’tikaf sesuai dengan ungkapan ‘Aisyah ra:
    كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُخْرِجُ رَأْسَهُ مِنَ الْمَسْجِدِ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فَأَغْسِلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ
    Nabi Muhammad saw mengeluarkan kepalanya dari masjid (ke ruangan rumahnya) saat beliau i’tikaf lalu aku mencucinya sedang aku dalam keadaan haid. (HR. Bukhari).
Adab atau hal yang harus diperhatikan oleh Mu’takif
  1. Selalu menghadirkan keagungan Allah di dalam hati sehingga niatnya terus terjaga.
  2. Menyibukkan diri dengan amal yang dapat mencapai tujuan i’tikaf.
  3. Bersahaja dan tidak berlebihan dalam melakukan perbuatan mubah seperti makan, minum, berbicara, tidur dan hal-hal lain yang biasa dilakukan di luar masjid.
  4. Menjauhi amal perbuatan yang dapat merusak tujuan i’tikaf seperti pembicaraan tentang materi (jual beli, kekayaan dan lain-lain).
  5. Memelihara kebersihan diri dan tempat i’tikaf serta menjaga ketertiban dan keteraturan dalam segala hal.
  6. Tidak melalaikan kewajiban yang tidak dapat ditunda pelaksanaannya, seperti nafkah untuk keluarga, menolong orang yang terancam keselamatannya, dan lain-lain. Wallahu’alam
Catatan Kaki:
[1] At-Ta’rifat karya ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali Asy-Syarif Al-Husaini Al-Jurjani atau sering disebut dengan Al-Jurjani.
[2] Mu’jam Lughah Al-Fuqaha karya Muhammad Rawwas Qal’ah Ji 1/76.
[3] http://syrcafe.com/vb/t14459.html
[4] Sunnah muakkadah ialah sunnah yang sangat dianjurkan karena hampir tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw.
[5] Zadul Ma’ad 2/82.
[6] Raudhah At-Thalibin wa ‘Umdah Al-Muftin karya Imam An-Nawawi: 1/281.
Lihat Selengkapnya »»  

TERIK DAGING

RESEP TERIK DAGING

BAHAN :
1/2 kg daging sapi.
3 buah bawang putih.
1 sendok teh ketumbar.
5 buah bawang merah.
1/2 sendok teh jinten.
3 butir kemiri.
1 jari lengkuas.
2 lembar daun salam.
Santan kelapa secukupya.
Sepotong kecil terasi.
Asam, garam dan gula jawa secukupnya.



CARA MEMASAK TERIK DAGING :
1. Daging dicuci, dipotong-potong kira-kira 1 cm agak lebar.
2. Semua bumbu kecuali daun salam dihaluskan,
lalu campurkan dengan daging, aduk hingga bumbu merata.
3. Panaskan wajan di atas api, masukkan daging, tuangi santan
dan daun salam. Rebus hingga kental dan daging menjadi empuk.
SUMBER
Lihat Selengkapnya »»  

Photo Pesona Keindahan Kota Pegunungan RONDA

Loading image...
 

Ronda city

Kota ini berada di negara Spanyol. Kota Ronda terletak di cliffsides atas ngarai yang dalam, di daerah yang memiliki ketinggian sekitar 750 meter (2.460 kaki) di atas permukaan laut. Terdapat jembatan rentang yang cukup mengesankan disana,berada di ngarai yang mempercantik pemandangan kota indah tersebut. Lokasinya sekitar 591 km dari Madrid. Terletak di sebelah barat provinsi Malaga, kota ini merupakan salah satu kota tertua di Spanyol.

Kota Ronda telah ada sejak abad ke-18. Sisa-sisa bangunan Andalusia bisa ditemukan di sini. Kota ini terbagi menjadi dua, yaitu kota tua dan modern. Keduanya terpisahkan oleh jurang sedalam 100 meter bernama El Tajo.

Jika datang ke kota ini, Anda akan melihat banyak gedung dan pemukiman warga di tepi jurang. Tidak hanya itu, Kota Ronda juga akan memanjakan mata Anda dengan pemandangan pegunungan yang indah. Cocok untuk para pecinta hewan dan tumbuhan karena kota ini kaya akan ekosistem.

Untuk menjangkau kota yang terpisah El Tajo, pengunjung bisa melalui jembatan setinggi 98 meter. Jembatan ini dibangun menggunakan batu dari Sungai Tangus, menambah kesan antik. Konon, jembatan ini telah dibangun sejak kejayaan bangsa Romawi kuno. Perbedaan kota yang terpisah ini terlihat jelas dari bangunannya, yang satu tampak modern dan yang lain tampak kuno.

Kota Ronda merupakan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Andalusia. Ini bisa dilihat dari Gereja St. Mary, tempat ibadah warga Ronda yang kebanyakan beragama Katolik. Gereja ini dulunya merupakan masjid, bisa dilihat dari hiasan di dinding dan gerbang yang masih asli. Menambah kesan klasik pada bangunan ini.

Selain gereja, contoh bangunan tua yang bisa Anda kunjungi saat ke Ronda adalah Plaza de Toros. Plaza de Toros adalah arena banteng tertua di Spanyol yang masih kokoh berdiri.

Dulu, alun-alun de Toros de Ronda dipakai untuk mengadakan pertandingan adu banteng. Kini, Plaza de Toros dimanfaatkan sebagai tempat wisata paling populer di Ronda. Arena ini memiliki diameter 66 meter, lengkap dengan 5 baris kursi penonton. Kota `Ronda memang cocok untuk Anda para pecinta sejarah.

Berikut Photo Pesona Keindahan Kota Pegunungan RONDA :
Ronda city

Ronda city

Ronda city

Ronda city

Ronda city

Ronda city

Ronda city

Ronda city

Ronda city









 SUMBER
                                                                                                                                                                                                                                                                   
Lihat Selengkapnya »»