Senin, 02 April 2012

Sholat Dengan Menggunakan Pembatas (Sutroh)


MediaMuslim.Info – Sebuah pembatas hendaklah diperhatikan dan didekatkan dengan posisi kita, ketikan kita akan melaksanakan  sholat dan janganlah membiarkan seorangpun melewati antara orang yang sholat dengan pembatas tersebut. Hal (menggunakan pembatas atau sutrah) itu berlaku juga pada sunnah-sunnah yang Rawatib, pada Sholat Dhuha, Tahiyatul Masjid, Sholat Witir, dan sunnah tersebut juga berlaku bagi seorang perempuan yang sholat sendirian di rumahnya. Sedangkan ketika sholat berjamaah maka yang menjadi penghalang/tabir bagi para makmum adalah imam sholat.
Sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Apabila ada yang shalat diantara kalian maka sholatlah dengan menggunakan pembatasr dan hendaklah dia mendekati pembatas tersebut, janganlah membiarkan seorangpun lewat antara dirinya dan pembatas tersebut” (HR: Abu Dawud no. 697 dan 698. Ibnu Majah no. 954 dan Ibnu Khuzaimah 1/93/1. [Lihat Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Syaikh Al-Albany hal. 82.])
Ini merupakan dalil/nash yang umum tentang sunnahnya mengambil sutrah ketika sholat baik di masjid maupun di rumah. Sutrah berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan. Ada sebagian orang-orang yang mengerjakan sholat telah melarang dirinya dari sunnah (menggunakan sutrah) tersebut sehingga dijumpai ketika sholat, mereka tidak menggunakan sutrah.

Permasalahan-Permasalahan Seputar Sutrah
  1. Sutrah ketika sholat dapat menggunakan apa-apa yang berada di arah kiblat seperti tembok, tongkat, atau tiang dan tidak ada pembatasan tentang bentangan/lebar sutrah.
  2. Tinggi sutrah kira-kira setingggi mu’akhiraturr (Sandaran pada bagian belakang pelana kuda yang ukurannya kira-kira dua pertiga dziraa’ (1 dziraa’= sepanjang siku-siku tangan sampai ujung jari tengah) [Lisaanul arab III/1495]), yaitu yang ukurannya kira-kira satu jengkal tangan.
  3. Jarak antara kedua kaki dan sutrah adalah kira-kira tiga hasta (siku sampai ujung jari tengah) dan diantara dia dengan sutrah masih ada tempat (ruang) untuk melakukan sujud.
  4. Sesungguhnya sutrah (tabir penghalang) disyariatkan bagi imam dan orang-orang yang sholat secara munfarid (sendiri) baik sholat wajib lima waktu maupun shalat sunnat
  5. Sutrah makmum mengikuti sutrah imam, maka diperbolehkan melewati makmum apabila ada hajat (kepentingan).
Faedah Menerapkan Sunnah Ini
Sesungguhnya sunnah tersebut (dengan menggunakan sutrah ketika sholat) menjaga sholat agar tidak terputus yang disebabkan oleh lalu lalangnya siapa saja yang bisa memutuskan/membatalkan sholat (yaitu perempuan, keledai, dan anjing yang hitam) atau mengurangi pahalanya.
Mencegah pandangan dari melihat orang-orang yang lalu lalang karena orang yang memakai sutrah secara umum pandangannya ke arah sutrah dan pikirannya terkonsentrasi pada makna-makna bacaan sholat.
Orang yang sholat memakai sutrah telah memberikan kesempatan bagi orang yang berlalu-lalang maka tidak perlu menjauhkan orang-orang yang berlalu lalang di depannya.
(Sumber Rujukan: Kitab Sifat Sholat Nabi , oleh Syeikh Nashiruddin Al-Albani dan sumber-sumber lainnya)
Lihat Selengkapnya »»  

Hukum Membaca Al-Qur’an secara Bersama-sama

Hukum Membaca Al-Qur’an secara Bersama-sama

MediaMuslim.InfoAlloh Subhanahu wa Ta’ala menurunkan kitab-Nya yang mulia sebagai petunjuk bagi manusia, obat bagi kaum mukminin, membimbing kepada yang lebih lurus, menjelaskan jalan petunjuk. Namun demikian, saat ini banyak menusia yang meninggalkan kitab yang agung ini, tidak mengenalnya kecuali hanya pada saat tertentu saja, seperti: di antara mereka ada yang hanya membacanya pada saat bulan Ramadhanataupun yang hanya mengenalnya saat ada kematian, dan sejenisnya.
Kemudian telah berkembang pula perbuatan-perbuatan yang tidak ada tuntunannya dalam Syariat Islam ketika membaca Al-Qur’an, di antaranya: membaca bersama-sama denga satu suara dalam masjid atau di rumah, menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an di atas kertas kemudian dimasukan ke dalam air untuk diminum, membaca Al-Qur’an di atas kuburan dll.
Pada dasarnya membaca Al-Qur’an haruslah dengan tatacara sebagaimana Rasulullah ShallAllohu ‘alaihi wa sallam mencontohkannya bersama para shahabat beliau ShallAllohu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada satupun riwayat dari beliau dan para sahabatnya bahwa mereka membacanya dengan cara bersama-sama dengan satu suara. Akan tetapi mereka membacanya sendiri-sendiri atau salah seorang membaca dan orang lain yang hadir mendengarkannya.

Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah ShallAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunnah para Al-Khulafa’ur Rasyidun setelahku” [1]
Sabda beliau lainnya, yang artinya: “Barangsiapa mengada-adakan dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak berasal darinya, maka dia itu tertolak” [2]
Dalam riwayat lain disebutkan, yang artinya: “Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan tersebut tertolak” [3]
Diriwayatkan pula dari Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada Abdullah bin Mas’ud RadhiyAllohu ‘anhu untuk membacakan kepadanya Al-Qur’an. Ia berkata kepada beliau. “Wahai Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam, apakah aku akan membacakan Al-Qur’an di hadapanmu sedangkan Al-Qur’an ini diturunkan kepadamu?” Beliau ShallAllohu ‘alaihi wa sallam menjawab, yang artinya: “Saya senang mendengarkannya dari orang lain” [4]

BERKUMPUL DI MASJID ATAU DI RUMAH UNTUK MEMBACA AL-QUR’AN BERSAMA-SAMA.
Jika yang dimaksud adalah bahwasanya mereka membacanya dengan satu suara dengan ‘waqaf’ dan berhenti yang sama, maka ini tidak disyariatkan. Paling tidak hukumnya makruh, karena tidak ada riwayat dari Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam maupun para shahabat beliau ShallAllohu ‘alaihi wa sallam. Namun apabila bertujuan untuk kegiatan belajar dan mengajar, maka  kita berharap hal tersebut tidak apa-apa.
Adapun apabila yang dimaksudkan adalah mereka berkumpul untuk membaca Al-Qur’an dengan tujuan untuk menghafalnya, atau mempelajarinya, dan salah seorang membaca dan yang lainnya mendengarkannya, atau mereka masing-masing membaca sendiri-sendiri dengan tidak menyamai suara orang lain, maka ini disyari’atkan, berdasarkan riwayat dari Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda, yang artinya: “Apabila suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Alloh (masjid) sambil membaca Al-Qur’an dan saling bertadarus bersama-sama, niscaya akan turun ketenangan atas mereka, rahmat Alloh akan meliputi mereka, para malaikat akan melindungi mereka dan Alloh menyebut mereka kepada makhluk-makhluk yang ada di sisi-Nya” [5]

MEMBAGI BACAAN AL-QUR’AN UNTUK ORANG-ORANG YANG HADIR
Membagi juz-juz Al-Qur’an untuk orang-orang yang hadir dalam perkumpulan, agar masing-masing membacanya sendiri-sendiri satu hizb atau beberapa hizb dari Al-Qur’an, tidaklah dianggap secara otomatis sebagai mengkhatamkan Al-Qur’an bagi masing-masing yang membacanya. Adapun tujuan mereka dalam membaca Al-Qur’an untuk mendapatkan berkahnya saja, tidaklah cukup. Sebab Al-Qur’an itu dibaca hendaknya dengan tujuan ibadah mendekatkan diri kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan untuk menghafalnya, memikirkan dan mempelajari hukum-hukumnya, mengambil pelajaran darinya, untuk mendapatkan pahala dari membacanya, melatih lisan dalam membacanya dan berbagai macam faedah-faedah lainnya.[6]

Catatan Kaki:
[1] Diriwayatkan oleh Abu Daud no 407 dalam kitab Sunnah, bab Fii Luzuumis Sunnah ; Ibnu Majah no 42 dalam Al-Muqaddimah, bab Ittiba’ul Khulafa’ir Rasyidinal Mahdiyyin, dari hadits Al-Irbadh RadhiyAllohu anhu. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2676 dalam Al-Ilmu bab ‘Maa Jaa’al Fil Akhdzi bis Sunnati Wajtinabil Bida’, ia mengatakan: ‘Hadits ini hasan shahih. Al-Arna’uth berkata: ‘Sanadnya hasan. Lihat Syarhus Sunnah, 1/205 hadits no.102.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no, 2697 dalam Al-Shulh bab ‘Idza Isththalahu ‘ala Shulhin Juur Fash Shulh Mardud’ dan Muslim no 1718 dalam kitab Al-Uqdhiyah bab ‘Naqdhul Ahkamil Bathilan wa Raddu Muhdatsatil Umur’ dari hadits Aisyah RadhiyAllohu ‘anha.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1718 jilid 18, dalam kitab Al-Uqdhiyah bab Maqdhul Ahkamil Bathilan wa Raddu Muhdatsatil Umu’ dari hadits Aisyah RadhiyAllohu ‘anha.
[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5050, dalam Fadhailul Qur’an, bab ‘Barangsiapa mendengarkan Al-Qur’an dari orang selainnya’ dari hadits Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, ‘Rasululloh berkata kepada saya, bacakan Al-Qur’an untukku. Saya berkata, Wahai Rasululloh, apakah saya akan membacakannya sedangkan Al-Qur’an ini diturunkan kepadamu? Beliau menjawab, ‘Ya’ Maka sayapun membacakan surat An-Nisa hingga pada ayat, yang artinya: “Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)”. (QS: An-Nisa: 41). Beliau berkata, “Cukup”. Saya menoleh kepada beliau, ternyata kedua matanya sedang berlinang air mata.” [Lihat Fatwa Lajnah Da'imah no. 4394]
[5] Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim no. 2699 dalam kitab Dzikir dan Do’a, bab ‘Fadhlul Ijtima ‘Ala Tilawatil Qur’an wa ‘Aladz Dzikir dari hadits Abu Hurairah RadhiyAllohu ‘anhu.[Lihat juga Fatawa Lajnah Da'imah no. 3302]
[6] Lihat Fatwa Lajnah Da’imah no. 3861

(Sumber Rujukan: Penyimpangan Terhadap Al-Qur’an; Fatwa Lajnah Da’imah)
Lihat Selengkapnya »»  

Sholat Khusyu’ – Mungkinkah Sekedar Impian ?

Sholat Khusyu’ – Mungkinkah Sekedar Impian ?

MediaMuslim.Info – Secara etimologi (bahasa), al-khusyu’ memiliki makna al-khudhû’ (tunduk). Seseorang dikatakan telah mengkhusyu’kan matanya jika dia telah menundukkan pandangan matanya. Secara terminologi (istilah syar’i) al-khusyu’ adalah seseorang melaksanakan shalat dan merasakan kehadiran Alloh Subhannahu wa Ta’ala yang amat dekat kepadanya, sehingga hati dan jiwanya merasa tenang dan tentram, tidak melakukan gerakan sia-sia dan tidak menoleh. Dia betul-betul menjaga adab dan sopan santun di hadapan Alloh Subhannahu wa Ta’ala. Segala gerakan dan ucapannya dia konsentrasikan mulai dari awal shalat hingga shalatnya berakhir.

Berikut firman Alloh Subhannahu wa Ta’ala tentang sholat yang khusyu’, yang artinya: “Yaitu orang-orang yang khusyu’ didalam sholatnya” (QS: Al-Mu’minun:2). Ayat tersebut ditafsirkan oleh Ibnu Abbâs Radhiallaahu anhu bahwa: “Orang-orang yang khusyu’ adalah orang-orang yang takut lagi penuh ketenangan”. Dan Ali Bin Abi Thalib berkata bahwa ”Yang dimaksud dengan khusyu’ dalam ayat ini adalah kekhusyu’an hati”.

Kiat-kiat yang dilakukan sebelum melaksanakan shalat.
Sebelum memulai ibadah shalat maka perhatikanlah kiat-kiat berikut ini:

Menjawab seruan adzan dengan lafazh sebagaimana yang dikumandang kan oleh muadzin kecuali lafazh: “hayya ‘alash shalah dan hayya ‘alal falâh” maka jawabannya adalah “lâ haula walâ quwwata illa billâh” sebagaimana perintah Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam dalam sabdanya, yang artinya: “Apabila kalian mendengar muadzin (mengumandangkan azan) maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkannya….” (HR: al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya).
Lalu berdo’a selesai adzan dengan do’a yang diajarkan oleh Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam seperti Allahumma Rabba hadzihid da’watit taammah…dst.
Kemudian berdo’a sesuai dengan keinginan masing-masing, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam, yang artinya: ”Do’a antara adzan dan iqomah tidak tertolak” (HR: Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah dan lainnya)

Berwudhu sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam. Melakukan wudhu berarti telah merealisasikan perintah Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, yang terdapat dalam firman-Nya, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu, basuhlah tanganmu hingga siku, dan usaplah (sapulah) kepalamu, serta basuhlah kakimu hingga kedua mata kakimu…” (QS: Al-Maidah: 6)
Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam bersabda tentang keutamaan wudhu, yang artinya: “Barangsiapa yang berwudhu’, lalu berwudhu’ dengan sebaik-baiknya, kemudian dia shalat, niscaya dosa antara sholatnya itu dan sholatnya yang lain (berikutnya) diampuni.” (HR: Ibnu Khuzaimah dan Imam Ahmad)
Dan bahkan orang yang berwudhu` itu berarti dia telah menggugurkan dosa-dosanya bersamaan dengan air yang mengalir dari anggota wudhu` yang telah dibasuh. (HR: Ibnu Khuzaimah dan Muslim)

Bersiwak (atau menggosok gigi) sebelum shalat sebagaimana perintah Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam dalam sebuah haditsnya, yang artinya: “Seandainya tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu’ (dalam riwayat yang lain) setiap kali hendak sholat” (HR: Muttafaq ‘Alaih)

Memakai pakaian yang sopan (layak), bersih dan wangi, serta menjauhi semaksimal mungkin pakaian yang sudah kotor, bau dan tidak layak untuk dipakai dalam shalat.  Menghindari pakaian yang ketat sehingga menyebabkan kesulitan untuk bergerak dan bernafas, janganlah memakai pakaian bergambar atau bertulisan agar mata kita terjaga dan juga agar orang lain tidak terganggu, lalu perhatikan juga pakaian yang membungkus tubuh kita, apakah sudah memenuhi syarat? Apakah sudah benar-benar menutupi aurat? Semua hal ini sebagai bentuk realisasi dari firman Alloh Subhannahu wa Ta’ala, yang artinya: “Wahai manusia pakailah pakaianmu yang indah setiap kali memasuki masjid” (QS:Al-’Araf: 31)

Jagalah konsetrasi dalam melaksanakan shalat dengan cara menghindari tempat dan suasana yang panas atau gerah, sebagaimana larangan Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam untuk tidak shalat Dzuhur pada saat panas sangat menyengat. Beliau Shalallaahu alaihi wa salam bersabda, yang artinya: “Laksanakanlah sholat Dzuhur pada waktu panas sudah mereda, karena panas yang sangat menyengat itu adalah hawa panas yang berasal dari neraka jahannam” ( HR: al-Bukhari, Ahmad dll).

Dan jagalah konsentrasi shalat kita dengan memenuhi segala kebutuhan jasmani kita yang mendesak, seperti; kalau seandainya sebelum shalat perut kita terasa mulas, ingin buang air maka janganlah ditahan-tahan, sebab kalau kita shalat sambil menahan perut kita yang mulas pasti konsetrasi shalat kita terganggu.

Demikian juga apabila kita merasa lapar sebelum melaksanakan shalat maka bersegeralah untuk makan untuk memenuhi hajat perut kita tersebut agar rasa lapar itu tidak membuyarkan konsetrasi kita ketika sedang shalat, dan mengenai dua permasalahan diatas Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam bersabda, yang artinya: “Tiada sholat ketika makanan sudah terhidang dan tiada sholat ketika seseorang menahan hajat buang airnya” (HR: Muslim, Ahmad dan lain-lain).

Carilah tempat shalat yang tenang, yang jauh dari kebisingan, yang jauh dari suara-suara berisik dan suara-suara gaduh, Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam bersabda, yang artinya: “Jauhilah suara-suara berisik seperti di pasar (ketika berada di masjid)” (HR: Muslim)
Oleh karena itu siapa saja yang berada di masjid hendaklah menjaga ketenangan dan ketentraman masjid, apabila kita berdzikir maka lirihkanlah suara dzikir kita, dan apabila kita membaca al-Qur’an maka lirihkanlah suara bacaan Al-Qur’an kita. Jangan sampai suara kita membuyarkan konsentrasi saudara-saudara kita yang sedang bermunajat kepada Alloh Subhannahu wa Ta’ala, Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya orang yang shalat sedang bermunajat kepada Rabnya, maka perhatikanlah saudaramu yang sedang bermunajat itu, Janganlah keraskan bacaan Qur’an kalian!” (HR: al-Bukhari dan Imam Malik)

Luangkanlah waktu untuk menunggu datangnya waktu shalat. Meluangkan waktu menunggu datang nya waktu shalat bisa dilakukan di dalam masjid terutama bagi laki-laki, sedangkan bagi wanita maka lebih utama di rumah. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala akan memberikan keutamaan dan fadhilah yang sangat banyak bagi orang yang menunggu waktu shalat, Sebagaimana Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam bersabda, yang artinya: “Senantiasa dihitung perbuatan seorang hamba itu sebagai pahala sholat selama ia menunggu datangnya waktu sholat, dan para malaikat (senantiasa) berdo’a untuknya, “Ya Alloh ampunilah dia dan rahmatilah dia,” sampai seorang hamba itu selesai (melaksanakan sholat) atau ia berhadats, (ada yang bertanya); apa yang dimaksud dengan hadats, (kata Rasululloh); keluar angin dari lubang dubur baik bau maupun tidak” (HR: Muslim dan Abu Daud)
Dalam hadits yang lain beliau Shalallaahu alaihi wa salam bersabda, yang artinya: “Maukah aku beritahukan tentang beberapa hal, yang mana Alloh akan menjadikannya sebagai pelebur dosa dan pengangkat derajat kalian? Para shahabat menjawab, “Tentu mau ya Rasululloh,” lalu Rasululloh bersabda, yang artinya: “Sempurnakan wudhu’ walau dalam keadaan tidak menyenangkan (spt; dingin), perbanyak langkah menuju masjid, menunggu sholat setelah melaksanakan sholat, maka yang demikian itu adalah ar-ribath, yang demikian itu ar-ribath.” (HR: Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Muslim)

Ar-ribath adalah senantiasa menjaga kesucian, shalat dan ibadah maka pahalanya diumpamakan seperti jihad di jalan Alloh Subhannahu wa Ta’ala.
Demikianlah kiat-kiat yang perlu kita perhatikan sebelum melak sanakan shalat. Dengan merealisasikan itu semua mudah-mudahan shalat kita menjadi shalat yang khusyu’ dan diterima disisi Alloh Subhannahu wa Ta’ala.

Keutamaan Shalot yang Khusyu’
Sesungguhnya Alloh Subhannahu wa Ta’ala telah memuji orang yang khusyu’ pada banyak ayat dalam al-Qur’an, di antara nya adalah:
Firman Alloh Subhannahu wa Ta’ala, yang artinya: “Sesungguhnya telah beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ didalam sholatnya”. (QS: Al-Mu’minun: 1-2)
Firman Alloh Subhannahu wa Ta’ala, yang artinya: “Dan mintalah pertolongan (kepada Alloh) dengan sabar dan sholat, karena sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”. (QS. al-Baqarah: 45)
Firman Alloh Subhannahu wa Ta’ala pada ayat yang lain, yang artinya: “Mereka yang berdo’a kepada Kami dengan penuh harapan dan rasa takut (cemas), dan mareka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami”. (QS: Al-Anbiya’: 90)
Alloh Subhannahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Mereka menyungkurkan mukanya dalam keadaan menangis dan kekhusyu’an mereka semakin bertambah” (QS: Al-Isra’: 109)
Alloh Subhannahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih, Apabila dibacakan ayat-ayat Alloh Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS: Maryam: 58)
Firman Alloh Subhannahu wa Ta’ala, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Rabbnya Yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS: Al-Mulk: 12)
Demikian juga beberapa hadits Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam yang menjelaskan tentang keutamaan khusyu’ berikut ini:
Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, Rasululloh Shalallaahu alaihi wa salam bersabda, yang artinya: “Tujuh golongan yang mendapat naungan Alloh pada suatu hari yang tidak ada naungan kecuali naungan Alloh; …(dan disebutkan di antaranya) seseorang yang berdzikir (ingat) kepada Allah dalam kesendirian (kesunyian) kemudian air matanya mengalir.” (HR: Al-Bukhari, Muslim dan lain-lainya)

Nabi Shalallaahu alaihi wa salam bersabda, yang artinya: “Barangsiapa yang mengingat Alloh kemudian dia menangis sehingga air matanya mengalir jatuh ke bumi niscaya dia tidak akan diazab pada hari Kiamat kelak.” (HR. al-Hakim dan dia berkata sanadnya shahih)
Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, Nabi Shalallaahu alaihi wa salam bersabda, yang artinya: “Semua mata (manusia) pada hari Kiamat akan menangis kecuali (ada beberapa orang yang tidak menangis) (pertama) mata yang terjaga dari hal-hal yang diharamkan Allah, (kedua) mata yang dipergunakan untuk berjaga-jaga (pada malam hari) di jalan Allah, (ketiga) mata yang menangis karena takut pada Allah walau (air mata yang keluar itu) hanya sekecil kepala seekor lalat” (HR: Ashbahâny)
Dari Bahaz Bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya semoga Alloh meridhai mereka, kakeknya berkata, “Saya mendengar Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Diharamkan neraka membakar tiga golongan manusia yang disebabkan matanya, (pertama) mata yang menangis karena takut pada Allah, (kedua) mata yang dipergunakan untuk berjaga-jaga (begadang) di jalan Alloh, (ketiga) mata yang terpelihara dari hal-hal yang diharamkan Alloh.” (HR: At-Thabrani, Al-Baghawi dan yang lainnya, al-Hakim mengatakan hadits ini shahih dan disepakati oleh adz-Dzahabi) Wallahu a’lam bish shawab.

(Sumber Rujukan: Taisîr Karimir Rahman, Asy-Syaikh Abdur Rahman Bin Nâshir As-Sa’dy; Tafsir Ibnu Katsir, MediaMuslim.Info)
Lihat Selengkapnya »»  

Tidak Cebok Setelah Buang Air Kecil

Tidak Cebok Setelah Buang Air Kecil


MediaMuslim.Info – Saat ini, banyak umat Islam yang menyerupai orang-orang kafir dalam masalah kencing. Beberapa kamar kecil hanya dilengkapi dengan bejana air kencing permanen yang menempel di tembok dalam ruangan terbuka. Setiap yang kencing, dengan tanpa malu berdiri dengan disaksikan orang yang lalu lalang keluar kamar mandi. Selesai kencing ia mengangkat pakaiannya dan mengenakannya dalam keadaan najis.

Orang tersebut telah melakukan dua perkara yang diharamkan, pertama ia tidak menjaga auratnya dari penglihatan manusia dan kedua, ia tidak cebok dan membersihkan diri dari kencingnya.
Islam datang dengan membawa peraturan yang semuanya demi kemaslahatan umat manusia. Diantaranya soal menghilangkan najis, Islam mensyari’atkan agar umatnya melakukan istinja’ (cebok dengan air) dan istijmar (membersihkan kotoran dengan batu), lalu menerangkan cara melakukannya sehingga tercapai kebersihan yang dimaksud.

Sebagian orang menganggap enteng masalah menghilangkan najis. Akibatnya badan dan bajunya masih kotor. Dengan begitu, shalatnya menjadi tidak sah. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa perbuatan tersebut salah satu sebab dari azab kubur.
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Suatu kali Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati salah satu kebun di Madinah. Tiba-tiba beliau mendengar suara dua orang yang sedang di siksa di alam kuburnya. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Keduanya diazab, tetapi tidak karena masalah besar (dalam anggapan keduanya) lalu bersabda – benar (dlm riwayat lain: Sesungguhnya ia masalah besar) salah satunya tidak meletakkan sesuatu untuk melindungi diri dari percikan kencingnya dan yang satu lagi suka mengadu domba”. (HR: Bukhari, lihat Fathul Baari :1/317)

Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, yang artinya: “Kebanyakan azab kubur disebabkan oleh buang air kecil”. (HR: Ahmad, Shahihul Jami’ No. 1213)
Termasuk tidak cebok setelah buang air kecil adalah orang yang menyudahi hajatnya dengan tergesa-gesa sebelum kencingnya habis, atau sengaja kencing dengan posisi tertentu atau di suatu tempat yang menjadikan percikan air kencing itu mengenainya, atau sengaja meninggalkan istinja’ dan istijmar tidak teliti dalam melakukannya.
(Sumber Rujukan: Dosa-dosa Yang Dianggap Biasa oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid)
Lihat Selengkapnya »»  

Keutamaan Bersiwak

Keutamaan Bersiwak


MediaMuslim.InfoTermasuk sunnah yang paling sering dan yang paling senang dilakukan oleh Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam adalah bersiwak. Siwak merupakan pekerjaan yang ringan namun memiliki faedah yang banyak baik bersifat keduniaan yaitu berupa kebersihan mulut, sehat dan putihnya gigi, menghilangkan bau mulut, dan lain-lain, maupun faedah-faedah yang bersifat akhirat, yaitu ittiba’ kepada Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan mendapatkan keridhoan dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana sabda Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam, yang artinya: “Siwak merupakan kebersihan bagi mulut dan keridhoan bagi Rob”. (HR: Ahmad, irwaul golil no 66 [shohih]). (Syarhul mumti’ 1/120 dan taisir ‘alam 1/62)

Oleh karena itu Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam begitu bersemangat melakukannya dan sangat ingin agar umatnya pun melakukan sebagaimana yang dia lakukan, hingga beliau bersabda, yang artinya: “Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudlu”. (HR: Bukhori dan Muslim, irwaul golil no 70)
Dan yang artinya: “Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan sholat”. (HR: Bukhori dan Muslim, irwaul golil no 70)

Ibnu Daqiqil ‘Ied menjelaskan sebab sangat dianjurkannya bersiwak ketika akan sholat, beliau berkata: “Rahasianya yaitu bahwasanya kita diperintahkan agar dalam setiap keadaan ketika bertaqorrub kepada Alloh, kita senantiasa dalam keadaan yang sempurna dan dalam keadaan bersih untuk menampakkan mulianya ibadah”. Dikatakan bahwa perkara ini (bersiwak ketika akan sholat) berhubungan dengan malaikat karena mereka terganggu dengan bau yang tidak enak. Berkata Imam As-Shon’ani : “Dan tidaklah jauh (jika dikatakan) bahwasanya rahasianya adalah digabungkannya dua perkara yang telah disebutkan (di atas) sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir, yang artinya: “Barang siapa yang makan bawang putih atau bawang merah atau bawang bakung maka janganlah dia mendekati mesjid kami. Sesungguhnya malaikat terganggu dengan apa-apa yang bani Adam tergaanggu dengannya” (Taisir ‘alam 1/63)
Dan ternyata Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak hanya bersiwak ketika akan sholat saja, bahkan beliau juga bersiwak dalam berbagai keadaan. Diantaranya ketika dia masuk kedalam rumah… Telah meriwayatkan Syuraih bin Hani, beliau berkata, yang artinya: ”Aku bertanya kepada ‘Aisyah: “Apa yang dilakukan pertama kali oleh Rosululloh jika dia memasuki rumahnya?” Beliau menjawab :”Bersiwak”. (HR: Muslim, irwaul golil no 72)

Atau ketika bangun malam…
Dari Hudzaifah ibnul Yaman, dia berkata, yang artinya: “Adalah Rosululloh jika bangun dari malam dia mencuci dan menggosok mulutnya dengan siwak”. (HR: Bukhori)
Bahkan dalam setiap keadaan pun boleh bagi kita untuk bersiwak. Sesuai dengan hadits di atas. Dalam hadits ini Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam memutlakkannya dan tidak mengkhususkannya pada waktu-waktu tertentu. Oleh karena itu siwak boleh dilakukan setiap waktu (Syarhul mumti’ 1/120, fiqhul islami wa adillatuhu 1/300), sehingga tidak disyaratkan hanya bersiwak ketika mulut dalam keadaan kotor (Syarhul mumti’ 1/125).
Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam sangat bersemangat ketika bersiwak, sehingga sampai keluar bunyi dari mulut beliau seakan-akan beliau muntah. Dari Abu Musa Al-Asy’ari berkata, yang artinya: Aku mendatangi Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan dia sedang bersiwak dengan siwak yang basah. Dan ujung siwak pada lidahnya dan dia sambil berkata “Uh- uh”. Dan siwak berada pada mulutnya seakan-akan beliau muntah. (HR: Bukhori dan Muslim)

Dan yang lebih menunjukan akan besarnya perhatian beliau dengan siwak yaitu bahwasanya diakhir hayat beliau, beliau masih menyempatkan diri untuk bersiwak sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah, yang artinya: Dari ‘Aisyah berkata: Abdurrohman bin Abu Bakar As-Sidik y menemui Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersandar di dadaku. Abdurrohman y membawa siwak yang basah yang dia gunakan untuk bersiwak. Dan Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam memandang siwak tersebut (dengan pandangan yang lama). Maka aku pun lalu mengambil siwak itu dan menggigitnya (untuk dibersihkan-pent) lalu aku membaguskannya kemudian aku berikan siwak tersebut kepada Rosululloh, maka beliaupun bersiwak dengannya. Dan tidaklah pernah aku melihat Rosululloh bersiwak yang lebih baik dari itu. Dan setelah Rosululloh selesai dari bersiwak dia pun mengangkat tangannya atau jarinya lalu berkata :
فِي الرَّفِيْقِ الأَعْلَى
Beliau mengatakannya tiga kali. Kemudian beliau wafat.
Dalam riwayat lain ‘Aisyah berkata, yang artinya: “Aku melihat Rosululloh memandang siwak tersebut, maka akupun tahu bahwa beliau menyukainya, lalu aku berkata: ‘Aku ambilkan siwak tersebut untuk engkau?” Maka Rosululloh mengisyaratkan dengan kepalanya (mengangguk-pent) yaitu tanda setuju. (HR: Bukhori dan Muslim)

Oleh karena itu berkata sebagian ulama: “Telah sepakat para ulama bahwasanya bersiwak adalah sunnah muakkadah karena anjuran Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan kesenantiasaan beliau melakukannya dan kecintaan beliau serta ajakan beliau kepada siwak tersebut.” (fiqhul islami wa adillatuhu 1/300)
(Sumber Rujukan: Syarhul Mumti’ ‘ala zadil mustaqni’ jilid 1, karya Syaikh Muhammad Utsaimin; Irwaul Golil jilid 1, karya Syaikh Al-Albani; Taisirul ‘Alam jilid 1, Karya Syaikh Ali Bassam; Fiqhul Islami wa adillatuhu jilid 1, karya Doktor Wahbah Az-Zuhaili)
Lihat Selengkapnya »»  

Bejana-Bejana Dari Emas, Perak dan Kulit

Bejana-Bejana Dari Emas, Perak dan Kulit

MediaMuslim.InfoAaniyah adalah wadah-wadahan atau bejana yang di dalamnya air dan benda lain  dapat disimpan, baik terbuat dari besi, kayu, kulit ataupun yang lainnya. Dan hukum asalnya adalah boleh, maka diperbolehkan mempergunakan dan memakai semua bejana yang suci kecuali dua hal…..

Pertama: Bejana Emas dan Perak

Termasuk
 bejana yang mengandung unsur emas atau perak, baik berupa polesan, hiasan, ataupun bentuk percampuran emas dan perak pada bejana, kecuali sedikit tambalan perak pada bejana di saat dibutuhkan untuk memperbaikinya.

Dalil pengharaman bejana emas dan perak adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: “Janganlah kalian minum  di dalam bejana emas dan perak, dan janganlah kalian makan pada piring-piringnya, karena sesungguhnya hal itu adalah bagi mereka (orang-orang kafir) di dunia dan bagi kita di akhirat” (diriwayatkan oleh Al Jama’ah) .Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: “Orang yang minum pada bejana perak, hanyasannya dia itu mengucurkan pada perutnya api neraka” (Muttafaq ‘Alaih).

Sedangkan larangan dari sesuatu mencakupnya baik dalam keadaan murni ataupun campuran, sehingga haramlah bejana yang dipoles atau dihiasi dengan emas  atau perak atau bejana yang ada mengandung campuran emas dan perak, selain sedikit tambalan perak sebagaimana yang lalu, dengan dalil hadits Anas Ibnu Malik radliyallahu ‘anhu yang artinya: “Bahwa pinggan milik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  retak, maka beliau menambalnya dengan perak” (HR: Al Bukhari)

An Nawawiy rahimahullah berkata: Telah terjalin ijma akan haramnya makan dan minum padanya, dan seluruh macam penggunaan  semakna dengan makan dan minum dengan ijma..Haramnya pemakaian dan penggunaan mencakup laki-laki dan perempuan berdasarkan umumnya hadits-hadits itu, dan tidak adanya dalil yang mengkhususkan, dan hanyasannya perhiasan dibolehkan bagi wanita karena kebutuhan mereka untuk berhias bagi suaminya. Dan dibolehkan bejana-bejana orang-orang kafir yang mereka pergunakan, selama tidak diketahui bahwa itu najis, dan bila diketahui adanya najis, maka harus dicuci terlebih dahulu kemudian dipakai setelah itu.

Kedua: Kulit bangkai, haram memakainya kecuali bila sudah disamak.

Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya mempergunakannya setelah disamak, dan pendapat yang benar adalah boleh, ini adalah pendapat jumhur ulama, karena adanya hadits-hadits shahihah yang membolehkan pemakaiannya setelah disamak, dan karena sifat najisnya itu adalah thari’ah (datang mendadak), sehingga bisa hilang dengan samak, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang artinya: “Disucikan dengan air dan qaradh (pohon yang kesat,Pent)” Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: “Penyamakan kulit adalah pensuciannya”.
Dan dibolehkan pakaian-pakaian orang-orang kafir, bila tidak diketahui bahwa itu najis, karena hukum asalnya adalah suci, sehingga tidak hilang dengan keragu-raguan, dan dibolehkan kain-kain yang mereka tenun atau celup, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan para sahabatnya memakai pakaian yang ditenun dan dicelup oleh orang-orang kafir.
Wallahu ‘Alam.
Lihat Selengkapnya »»